Rabu, 14 November 2012
MUHASABAH
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Hasyr : 18).
Ayat ini merupakan dasar hukum adanya muhasabah. Muhasabah artinya melakukan penghitungan terhadap amal perbuatan yang pernah dilakukan agar dapat meningkatkan amalan yang baik dan meninggalkan atau mengurangi amal perbuatan yang tidak baik dan yang sia-sia. Muhasabah ini merupakan langkah prifentif agar tidak melakukan kesalahan yang lebih patal dimasa berikutnya, serta untuk dapat memaksimalisasikan penggunaan sisa umur yang masih ada terutama dalam menghadapi pintu kematian dan hari depan yang jauh lebih panjang (akhirat), sebab perbandingan masa kehidupan di dunia dengan akhirat adalah “satu hari di akhirat sama dengan seribu tahun di dunia”. (Q. S : al-Sajadah : 5)
Ayat 18 dari Surat al-Hasyr tersebut diatas menyatakan bahwa Allah SWT memerintahkan agar setiap orang yang beriman memperhatikan apa yang sudah diperbuatnya, apakah perbuatan itu bermanfaat atau tidak, apakah kemanfatan itu untuk sesaat (dunia) atau juga untuk akhirat. Jika amal perbuatan kita perbuat hanya untuk manfaat sesaat, maka sepantasnyalah bila kita memperbaikinya agar apa yang kita kerjakan dimasa berikutnya bukan hanya untuk manfaat sesaat tetapi bagaimana agar dapat menjadi amalan yang manfaatnya untuk juga kehiduapan akhirat nantinya.
Bila ternyata apa yang kita lakukan di dunia ini selain bermanfaat untuk kepentingan dunia juga untuk kehidupan akhirat, maka patutlah kiranya kita bersyukur kepada Allah, karena Allah telah memberi petunjuk kepada kita dan memberikan kemampuan untuk mengikuti petunjuk itu. Tetapi bila tidak, tentu patutlah kita menyesal dan bertaubat kepada Allah karena kita telah salah menggunakan rahmat yang diberikan Allah kepada kita.
Selain ayat tersebut diatas, Saiyidina Umar Ibnu Khattab R.a. telah pula mengingatkan agar melakukan penghitungan (muhasabah) terhadap amal perbuatan yang pernah kita lakukan, sebelum nantinya Allah sendiri yang akan melakukan penghitungan, pada hal kita percaya dan yakin bahwa penghitungan Allah tidak akan pernah keliru.
فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا
Artinya:
Maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang sangat gampang.
Berkenaan dengan itu Umar Ibn Khatab berkata;
حَاسِبُوْا اَنْفُسَكُمْ قَبْلَ اَنْ تُحَاسَبُوْا وَزِنُوْاهَا قَبْلَ اَنْ تُوْزَنُوْا (رواه ابو نعيم)
Artinya:
Hitung-hitunglah dirimu sebelum dilakukan penghitungan, timbang-timbanglah dirimu sebelum dilakukan penimbangan. (H.R. Abu Nu’im)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah didatangi seorang laki-laki, lalu laki-laki itu berkata; Ya Rasulullah ! berilah saya nasehat !. Rasul bersabda; Apakah kamu mau menerima nasehatku ? mau Ya Rasulullah, jawab laki-laki tadi. Kemudian Rasul berkata; Bila kamu telah berniat untuk melakukan sesuatu pekerjaan, maka pikirkanlah terlebih dahulu. Jika ada petunjuk maka teruskanlah, tetapi jika ada kebimbangan maka hentikanlah. “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah wahai orang-orang yang beriman agar kamu mendapat keberuntungan” (Q.S. al-Nur : 31).
Taubat itu artinya memperhatikan amal perbuatan yang telah dilakukan dengan penuh penyesalan. Nabi SAW berkata “Sesungguhnya aku memohon ampun kepada Allah SWT dan bertaubat kepada-Nya dalam satu malam sebanyak 100 kali”. Saiyidina Umar R.a. memukul-mukul kedua telapak kakinya dengan cambuk bila malam telah larut sambil berkata kepada dirinya “Wahai diri apa yang telah kamu perbuat hari ini”.
Hakikat muhasabah telah dijelaskan oleh Imam al-Ghazali dengan katanya; Ketahuilah ! bahwa ibarat seorang hamba di waktu pagi hari dia diwajibkan melakukan sesuatu pekerjaan, sewajarnya bila disore hari dia memperhitungkan gerak dan diamnya. Ketika dia bergerak tentu dia tidak diam, untuk apa dia bergerak dan untuk apapula dia diam. Laksana seorang pedagang yang mencari keuntungan bersama temannya, setiap tahun, bulan dan hari selalu mencari keuntungan untuk mengumpulkan harta dunia dan takut betul akan kehilangan meskipun boleh jadi kehilangan harta merupakan kebaikan buat mereka.
Kalau mereka berhasil mengumpulkan harta yang banyak tentulah tidak akan kekal kecuali hanya untuk beberapa hari saja kemudian dia lenyap. Mengapa manusia yang dianugerah akal tidak memperhitungkan dirinya. Artinya mengapa orang yang berakal meninggalkan penghitungan terhadap dirinya yang selalu berhubungan dengan kekhawatiran akan mendapat celaka atau bahagia buat selama-lamanya .Menganggap gampang urusan ini tidak lain hanyalah kelalaian belaka serta menunjukkan sedikit sekali mendapatkan taufiq, kita mohon perlindungan Allah dari keadaan semacam itu (Na’uzubillahi min dzalik).
Berhitung dengan kawan sekerja artinya memperhatikan modal pokok, laba dan ruginya agar dapat diketahui bertambah atau berkurangnya harta mereka. Andaikan beruntung tentu dia akan mengambil bagiannya secara utuh, tetapi jika rugi tentu dia akan menuntut jaminan dan membebankannya pada perolehan yang akan datang. Modal pokok seorang hamba dalam agamanya adalah semua jenis fardhu. Keuntungannya adalah yang sunnat-sunnat dan yang mengandung fadhilah amal. Kerugiannya adalah semua jenis maksiat. Musimannya atau waktu berdagangnya adalah seluruh hari. Temannya bekerja adalah nafsunya sendiri yang selalu menjerumuskan dia dalam kejahatan. Pertamakali hendaklah menghitung-hitung yang fardhu karena yang fardhu itu merupakan modal pokok baginya.
Jika dia dapat menunaikan yang fardhu seperti shalat, puasa dan lainnya sesuai dengan ketentuannya, adabnya, syarat dan rukunnya, hendaklah dia bersyukur kepada Allah dan hendaknya dapat mendorongnya untuk melakukan amaliah fardhu yang serupa. Jika lewat dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan hendaklah dia membayarnya dengan cara qadha karena membayar secara qadha’ (diluar waktu yang ditentukan) bernilai sama dengan pembayaran secara ada’ (tepat waktu). Akan tetapi jika pembayarannya kurang adabnya atau syaratnya, maka hendaklah menempelnya dengan yang sunnat-sunnat. Jika terlanjur berbuat maksiat seperti zina sehingga selalu gelisah karena akan mendapatkan akibatnya dan azab serta cercaan maka hendaklah dia menebusnya dengan memperbaiki apa yang salah dan memberikan hukuman terhadap dirinya paling kurang melakukan yang sunnat-sunnat menurut amalan para auliya Allah dan orang-orang shaleh.
Bila seseorang melakukan Muhasabah terhadap dirinya lalu dia menemukan ada amanah yang dikhianatinya atau perintah yang tidak sempurna dilakukannya, maka hendaklah dia memperbaikinya dengan bertaubat dan menempelnya dengan yang sunnat-sunnat seperti yang telah dikemukakan diatas. Jika tidak sanggup karena dikalahkan nafsu syahwat hendaklah dia mengobati nafsunya dengan siksaan dan janganlah dia memperturutkan nafsu syahwatnya itu, sebab jika memperturutkannya tentu akan mudah berbuat maksiat dan lupa diri serta sulit untuk meninggalkannya karena akan menjadi statis. Artinya dia akan berkekalan dalam berbuat maksiat, padahal keadaan semacam itu merupakan penyebab untuk mendapat celaka. Oleh sebab itu sepantasnyalah menyiksa dirinya karena telah melakukan perbuatan dosa yang tercela sebagai obat baginya sebab setiap penyakit itu ada obatnya.
Bila telah memakan sesuap saja dari makanan syubhat berdasarkan keinginan nafsu, sepantasnyalah bila dia menyiksa perutnya dengan berlapar-lapar (berpuasa). Jika dia memandang seorang wanita yang bukan mahramnya sepantasnya pula bila dia menyiksa matanya dengan melarangnya untuk melihat. Demikian juga dia harus menyiksa seluruh anggota tubuhnya dengan cara mencegahnya dari keinginan syahwat. Begitulah kebiasaan orang-orang yang menempuh perjalanan menuju akhirat.
Mansur bin Ibrahim R.a. telah meriwayatkan bahwa seorang laki-laki ahli ibadah berbincang-bincang dengan seorang wanita asing, tanpa disadarinya tiba-tiba laki-laki itu meletakkan tangannya diatas paha wanita tersebut, kemudian laki-laki itu sangat menyesal atas kejadian itu, lalu dia memasukkan tangannya kedalam api sampai terbakar.
Diceritakan pula bahwa Hasan bin Abi Saman, memasuki sebuah kamar rumah mewah. Karena keindahan rumah tersebut hatinya berkata; “Kapan saya bisa membangun rumah semacam ini”. Setlah itu dia bermuhasabah dengan memperhatikan kemampuan dirinya, lalu dia berkata kepada dirinya sendiri; Wahai diri yang malang, kamu meminta seuatu diluar kemampuanmu, oleh karena itu aku akan menyiksa kamu dengan berpuasa selama satu tahun. Kemudian dia melakukan puasa selama satu tahun. Riwayat lain menceritakan bahwa Tamimi al-Dariy. R.a. tertidur semalam suntuk sehingga dia tidak melakukan shalat tahajjud, padahal biasanya setiap malam dia shalat tahajjud. Lalu dia menghukum dirinya dengan tidak tidur selama satu tahun.
Wahai jiwa yang miskin ! Perhatikanlah kelakuan para Nabi dan para wali Allah. Bagaimana mereka membuat perhitungan (Muhasabah) terhadap diri mereka pada setiap waktu, setiap saat dan disetiap hembusan nafas. Mereka menyiksa dirinya bila tergelincir berbuat dosa atau kelalaian. Perhatikan pula junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Beliau beristighfar memohon ampun kepada Allah SWT setiap harinya tidak kurang dari seratus kali, padahal beliau dijaga oleh Allah (Maksum) agar tidak tergelincir kepada dosa kecil apalagi dosa besar. Kalau Nabi saja seperti itu mengapa kita tidak mau bermuhasabah, tidak mau bertaubat, pada hal kita selalu berenang di dalam lautan dosa, alangkah celakanya diri kita ini!.-
Bila seorang hamba telah melakukan muhasabah, maka akan muncullah dua sifat mulia di dalam dirinya, yaitu sifat takut dan harap (khauf dan raja). Kedua sifat mulia ini selalu menghiasi sikap dan prilaku seorang hamba yang taat pada ajaran Allah dan Rasul-Nya. Malaikat adalah sosok makhluk Allah yang sangat ta’at kepada perintah Allah. Mereka tidak pernah mendurhakai apa saja yang diperintahkan Allah SWT. Abu Laits berkata; Sesungguhnya Allah Swt. memiliki malaikat-malaikat di langit yang selalu sujud kepada Allah semenjak mereka diciptakan sampai hari kiamat, seluruh persendian mereka gemetar karena takut menyalahi perintah Allah Swt. Apabila telah datang hari kiamat, mereka mengangkatkan kepalanya dan berkata; Maha suci Engkau Ya Allah, kami belum mengabdi kepada-Mu dengan sepenuh pengabdian. Ketakutan mereka itu digambarkan Allah dengan firman-Nya;
يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (النحل: 50)
Artinya:
Mereka takut kepada Tuhannya yang di atas, dan mreka melaksanakan apa saja yang diperintahkan”. (Q. S : al-Nahl: 50)
Takut kepada Allah membuat dosa-dosa terampuni, Rasulullah SAW bersabda; “ketika tubuh seorang hamba berkerut karena takut kepada Allah swt. maka berguguranlah dosa-dosanya bagaikan rontoknya daun-daunan dari pohonnya”. Banyak kisah nyata yang terjadi dizaman dahulu tentang seorang hamba yang mempunyai rasa takut kepada Allah kiranya dapat kita jadikan pelajaran yang berharga agar lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Dizaman dahulu ada satu rombongan musafir yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Pada suatu ketika mereka beristirahat disuatu tempat karena kelelahan. Diantara rombongan itu terdapat seorang laki-laki yang jatuh cinta kepada seorang wanita yang juga termasuk anggota rombongan tersebut. Di malam yang sunyi sepi wanita itu ingin buang hajat, lalu laki-laki yang menaruh hati kepadanya itu ikut menemaninya. Ketika mereka berdua berada ditempat yang sepi sementara rombongan lainnya sedang tidur pulas, laki-laki itu mengutarakan keinginannya untuk berbuat mesum dengan wanita tersebut. Wanita itu berkata; “cobalah kanda lihat terlebih dahulu, apakah teman-teman kita itu sudah tidur semua”. Mendengar permintaan kekasihnya itu, laki-laki tersebut dengan senang hati berangkat melihat dan memperhatikan semua anggota rombongan apakah mereka telah benar-benar tidur atau belum. Ternyata dari hasil pantauannya mereka semua telah tidur pulas.
Dengan hati yang berbunga-bunga kembalilah dia menemui kekasihnya yang telah menunggu sendirian ditempat yang sepi. Lalu laki-laki itu berkata kepada kekasihnya itu “mereka semua sudah tidur”. Wanita itu bertanya lagi; Bagaimana pendapatmu tentang Allah, apakah saat ini Dia tidur ?. dengan tubuh gemetar laki-laki itu menjawab “sungguh Allah tidak pernah ngantuk dan tidak pernah pula Dia tidur”. Akhirnya wanita itu berkata “Sesungguhnya Allah yang tidak tidur saat ini dan selamanya Dia tidak pernah ngatuk dan tidur, tentu akan melihat apa yang kita lakukan meskipun mereka rombongan kita itu dalam keadaan tidur nyenyak, oleh karena itu tentu Allah lebih pantas kita takuti daripada manusia. Akhirnya laki-laki itu langsung meninggalkan tempat tersebut dan kembali ketempat peristirahatannya dengan sekujur badannya gemetar.
Di malam itu juga dia bermuhasabah dia mengingat-ingat perbuatannya tadi, dia sangat menyesal, dan dia memohon ampun kepada Allah atas kelancangannya itu. Tidak lama setelah itu laki-laki tersebut meninggal dunia, selang beberapa malam setelah dia meninggal banyak orang berminpi bertemu dengannya, meraka bertanya kepada laki-laki itu bagai mana Allah memperlakukannya, laki-laki itu menjawab bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosanya karena dia meninggalkan perbuatan dosa disebabkan takut kepada Allah. (al-Ghazali, Mukasyfatu al-Qulub : 1977 : 9).
Dalam kitab yang sama Imam al-Ghazali memaparkan cerita pengarang kitab Mujammi’ al-Lathaif bahwa dizaman Nabi Musa A.s. hiduplah seorang ‘abid miskin yang mempunyai banyak anggota keluarga. Pada suatu hari mereka ditimpa kelaparan dan tidak ada makanan yang dapat mereka makan, mau membelipun uang tidak punya. Melihat anak-anaknya menangis kelaparan, disuruhnyalah isterinya menemui seorang saudagar kaya untuk meminta makanan. Lalu berangkatlah isterinya itu seorang diri menemui saudagar kaya tersebut dan mengutarakan maksud dan tujuan kedatangnnya.
Mendengar cerita perempuan tersebut, saudagar kaya itu berkata; saya mau membantumu dan keluargamu, asalkan kamu mau melayani keinginanku”. Mendengar tawaran tersebut perempuan itu terdiam, lalu dia pulang dengan tangan hampa. Sesampainya dia dirumah, perempuan itu mendapatkan anak-anaknya menangis dan merintih. ibu…! Ibu….! berilah kami makan, kami sudah tidak kuat lagi menahan derita kelaparan ini, ibu ! berilah kami apa saja yang dapat kami makan, kalau tidak tentu kami akan mati kelaparan.
Dengan tetesan air mata mendengar rintihan anak-anaknya, perempuan itu kembali lagi kerumah saudagar kaya tersebut. Dia menceritakan apa yang mereka alami, dia ceritakan pula rintihan anak-anaknya yang kelaparan, tapi saudagar kaya tersebut tidak peduli, dan tetap pada tawarannya semula; “saya mau membantumu dan keluargamu asalkan kamu mau melayaniku”. Karena tuntutan keadaan, wanita itu menganggukkan kepalanya sebagai pertanda persetujuannya untuk melayani napsu birahi saudagar kaya tersebut.
Ketika mereka berdua sudah masuk kedalam kamar, gemetarlah sekujur tubuh wanita itu, sendi-sendi seakan copot dari tempatnya. Lalu saudagar kaya itu bertanya; mengapa kamu gemetar, dan kamu tidak usah takut kepadaku, karena aku tidak akan menyakitimu. Wanita itu menjawab dengan penuh rasa takut. “Tuan ! saya sebenarnya bukan takut kepada tuan, tapi saya takut kepada Allah, bukankah perbuatan kita ini dilihat dan diperhatikan Allah ?”.
Mendengar ucapan perempuan tersebut, saudagar kaya itu sadar dan diapun berkata; kamu yang miskin ini masih takut kepada Allah, seharusnya saya lebih takut kepada Allah daripada kamu. Sekarang kamu pulang saja dan bawalah pemberianku ini untukmu dan keluargamu, berilah mereka makan serta maafkanlah kelancanganku. Akhirnya perempuan itu pulang kerumahnya dengan membawa berbagai macam makanan dan keperluan lainnya sebagai hadiah dari saudagar kaya tersebut.
Tidak lama setelah itu turunlah titah Allah kepada Nabi Musa a.s. yang memerintahkan agar Nabi Musa menyampaikan firman Allah; “Katakanlah kepadanya (saudagar kaya itu) bahwa Aku telah mengampuni dosa-dosanya”. Berangkatlah Nabi Musa menemui saudagar kaya itu dan berkata; amal shaleh apa yang telah engkau perbuat hingga Allah mengampuni dosa-dosamu ?. Saudagar itu menceritakan tentang apa yang telah dialaminya bahwa dia mengurungkan niatnya melakukan perbuatan mesum dengan seorang wanita lantaran takut kepada Allah. Mendengar cerita itu Nabi Musa A.s. berkata; “sesungguhnya Allah benar-benar telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu”.
Seorang hamba yang melakukan muhasabah hingga terbitlah rasa takutnya kepada Allah mengingat banyaknya dosa yang telah dilakukan, sedangkan permohonan ampun yang selalu dilantunkannya tidak pernah diketahui apakah dikabulkan Allah atau tidak, tentu akan membuat air mata menetes karena penyesalan yang mendalam, mengapa umur yang telah dilewati tidak untuk beramal shaleh, mengapa kertas putih kehidupan ini banyak dihiasi dengan catatan-catatan hitam, bukankah buku catatan kehidupan ini kelak akan diserah terimakan kepada yang bersangkutan, alangkah celakanya bila ketika itu buku catatan amal diterima dari arah sebelah kiri yang menunjukkan nilai dan prestasi yang sangat jelek, disaat itu penyesalan tidak akan ada lagi artinya.
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَالَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ . وَلَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ . يَالَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ . مَا أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ . هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ. خُذُوهُ فَغُلُّوهُ . ثُمَّ لْجَحِيمَ صَلُّوهُ . ثُمَّ فِي سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا سَبْعُونَ ذِرَاعًا فَاسْلُكُوهُ . إِنَّهُ كَانَ لَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ (الحقة : 25 – 33)
Artinya:
Adapun orang yang kepadanya diberikan kitab dari sebelah kirinya, maka dia berkata: Alangkah baiknya andaikan kitab ini tidak diberikan kepadaku, dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku, Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaan dariku (Allah berfirman): "Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya." Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Lalu belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar. (Q.S. al-Haqqah : 25 – 33).
Penyesalan yang mendalam ketika itu sungguh tidak akan ada lagi artinya, tepatlah kata pepatah “sesalilah dahulu pendapatan, karena sesal kemudian takkan ada gunanya”. Penyesalan sesudah kematian tentu takkan berguna, tetapi penyesalan sebelum datang waktu kematian tentu sangat berguna, sebab penyesalan yang mendalam pada saat sekarang ini akan menimbulkan tangisan dengan tetesan air mata, padahal tetesan air mata penyesalan itu akan memadamkan api neraka. Nabi SAW bersabda; “Tidak akan masuk neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah, entah kalau air susu kembali ketempat asalnya” .
Bulu mata yang basah karena tetesan air mata penyesalan dan ketakutan kepada Allah akan menjadi saksi di akhirat nanti bahwa orang yang bersangkutan telah bertaubat kepada Allah sehingga menyebabkan dia masuk kedalam syurga meskipun yang semula dia telah diputuskan untuk masuk neraka. Dalam kitab Daqaiqu al-Akhbar dijelaskan bahwa pada hari kiamat nanti ada seorang hamba yang timbangan dosanya jauh lebih berat dari pahalanya, sehingga kepada para malaikat diperintahkan untuk membawa orang tersebut kedalam neraka. Lalu satu helai bulu matanya angkat bicara; ”Ya Rabby ! Rasul-Mu Muhammad Saw telah bersabda ‘siapa yang menangis karena takut kepada Allah, maka Allah mengharamkannya masuk neraka’, sungguh aku pernah menangis karena takut kepada Mu Ya Allah”. Kemudian Allah mengampuni dosa-dosanya dan memerintahkan kepada malaikat untuk membawa orang itu kedalam syurga. Lalu malaikat Jibril A.s. mengumumkan bahwa fulan bin fulan selamat dari siksaan neraka karena sehelai bulu matanya.
Takut kepada Allah artinya takut akan siksaan dan ancaman Allah karena kesalahan hamba selama hidupnya di dunia ini. Dalam realitas kehidupan berbagai macam sebab yang membuat orang takut akan siksaan Allah itu. Ada yang takut atas perbuatan syiriknya, ada yang takut atas dosa kedustaannya, ada yang takut karena kurang ibadahnya, dan lain sebagainya. Dan karena rasa takut itu pulalah salah satu penyebab seorang hamba masuk syurga dan terlepas dari neraka. Kita membaca riwaya zaman dahulu, betapa seorang hamba masuk syurga karena sehelai bulu mata yang pernah basah terkena air mata penyesalannya atas dosa yang pernah dia lakukan. Begitu juga betapa seorang hamba masuk syurga karena seekor lalat, dan betapa seseorang yang juga masuk neraka gara-gara seekor lalat.
Dalam sebuah hadits riwayat Ahmad, Nabi SAW pernah menceritakan tentang seorang hamba yang masuk neraka karena seekor lalat, dan seorang hamba masuk syurga karena seekor lalat. Para sahabat yang hadir ketika itu bertanya; Ya Rasulullah! mengapa sampai terjadi seperti itu ?. Lantas Nabi bercerita; Pada suatu hari ada dua orang musafir melewati sekelompok orang yang sedang menyembah berhala. Mereka berdua ini tidak dibenarkan melewati tempat itu sebelum mereka memberikan sesajian kepada berhala yang mereka sembah, pada hal tidak ada jalan lain yang dapat dilewati selain jalan tersebut.
Para penyembah berhala itu memerintahkan kepada dua orang musafir ini untuk memberikan sesajian kepada berhala yang mereka sembah. Keduanya berkata; “Kami tidak punya apa-apa yang dapat kami persembahkan kepada berhala ini”. Penjaga berhala lantas memanggil mereka berdua satu persatu, dan kepada musafir yang dipanggil pertama dipaksa untuk memberikan sesajian untuk berhala itu walaupun hanya seekor lalat. Lalu orang ini mencari seekor lalat dan dia mendapatkannya kemudian dia persembahkan kepada berhala itu, akhirnya orang ini diperkenankan meneruskan perjalanannya tanpa diganggu oleh para penjaga berhala tesebut. “orang ini masuk neraka” kata Nabi SAW.
Kemudian dipanggil pula musafir yang keduanya, dan kepadanya diperintahkan pula mencari seekor lalat untuk dipersembahkan kepada berhala yang mereka tunggui itu. Tetapi musafir yang kedua ini berkata; “berkurban untuk selalin Allah adalah syirik, dan saya takut kepada Allah atas perbuatan syirik ini, untuk itu saya tidak mau berkurban selain hanya untuk Allah saja”. mendengar jawaban musafir yang kedua ini, penjaga berhala itu marah, lalu dipenggallah lehernya. Tetapi orang ini masuk syurga, kata Nabi SAW.
Kisah-kisah diatas menunjukkan betapa rasa takut kepada siksaan Allah mampu memunculkan rasa cinta (mahabbah) kepada Allah yang pada gilirannya memunculkan pula rasa harap (raja’) akan rahmat-Nya yang Maha Luas, kasih-Nya yang tak pilih kasih, sayang-Nya yang tak alang kepalang. Semoga kita semua termasuk orang yang dikasihi dan disayangi Allah sehingga melimpahlah rahmat dari-Nya. Amien Ya Rab al-‘Alamin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar