Rabu, 14 November 2012

MUHASABAH

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Hasyr : 18). Ayat ini merupakan dasar hukum adanya muhasabah. Muhasabah artinya melakukan penghitungan terhadap amal perbuatan yang pernah dilakukan agar dapat meningkatkan amalan yang baik dan meninggalkan atau mengurangi amal perbuatan yang tidak baik dan yang sia-sia. Muhasabah ini merupakan langkah prifentif agar tidak melakukan kesalahan yang lebih patal dimasa berikutnya, serta untuk dapat memaksimalisasikan penggunaan sisa umur yang masih ada terutama dalam menghadapi pintu kematian dan hari depan yang jauh lebih panjang (akhirat), sebab perbandingan masa kehidupan di dunia dengan akhirat adalah “satu hari di akhirat sama dengan seribu tahun di dunia”. (Q. S : al-Sajadah : 5) Ayat 18 dari Surat al-Hasyr tersebut diatas menyatakan bahwa Allah SWT memerintahkan agar setiap orang yang beriman memperhatikan apa yang sudah diperbuatnya, apakah perbuatan itu bermanfaat atau tidak, apakah kemanfatan itu untuk sesaat (dunia) atau juga untuk akhirat. Jika amal perbuatan kita perbuat hanya untuk manfaat sesaat, maka sepantasnyalah bila kita memperbaikinya agar apa yang kita kerjakan dimasa berikutnya bukan hanya untuk manfaat sesaat tetapi bagaimana agar dapat menjadi amalan yang manfaatnya untuk juga kehiduapan akhirat nantinya. Bila ternyata apa yang kita lakukan di dunia ini selain bermanfaat untuk kepentingan dunia juga untuk kehidupan akhirat, maka patutlah kiranya kita bersyukur kepada Allah, karena Allah telah memberi petunjuk kepada kita dan memberikan kemampuan untuk mengikuti petunjuk itu. Tetapi bila tidak, tentu patutlah kita menyesal dan bertaubat kepada Allah karena kita telah salah menggunakan rahmat yang diberikan Allah kepada kita. Selain ayat tersebut diatas, Saiyidina Umar Ibnu Khattab R.a. telah pula mengingatkan agar melakukan penghitungan (muhasabah) terhadap amal perbuatan yang pernah kita lakukan, sebelum nantinya Allah sendiri yang akan melakukan penghitungan, pada hal kita percaya dan yakin bahwa penghitungan Allah tidak akan pernah keliru. فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا Artinya: Maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang sangat gampang. Berkenaan dengan itu Umar Ibn Khatab berkata; حَاسِبُوْا اَنْفُسَكُمْ قَبْلَ اَنْ تُحَاسَبُوْا وَزِنُوْاهَا قَبْلَ اَنْ تُوْزَنُوْا (رواه ابو نعيم) Artinya: Hitung-hitunglah dirimu sebelum dilakukan penghitungan, timbang-timbanglah dirimu sebelum dilakukan penimbangan. (H.R. Abu Nu’im) Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah didatangi seorang laki-laki, lalu laki-laki itu berkata; Ya Rasulullah ! berilah saya nasehat !. Rasul bersabda; Apakah kamu mau menerima nasehatku ? mau Ya Rasulullah, jawab laki-laki tadi. Kemudian Rasul berkata; Bila kamu telah berniat untuk melakukan sesuatu pekerjaan, maka pikirkanlah terlebih dahulu. Jika ada petunjuk maka teruskanlah, tetapi jika ada kebimbangan maka hentikanlah. “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah wahai orang-orang yang beriman agar kamu mendapat keberuntungan” (Q.S. al-Nur : 31). Taubat itu artinya memperhatikan amal perbuatan yang telah dilakukan dengan penuh penyesalan. Nabi SAW berkata “Sesungguhnya aku memohon ampun kepada Allah SWT dan bertaubat kepada-Nya dalam satu malam sebanyak 100 kali”. Saiyidina Umar R.a. memukul-mukul kedua telapak kakinya dengan cambuk bila malam telah larut sambil berkata kepada dirinya “Wahai diri apa yang telah kamu perbuat hari ini”. Hakikat muhasabah telah dijelaskan oleh Imam al-Ghazali dengan katanya; Ketahuilah ! bahwa ibarat seorang hamba di waktu pagi hari dia diwajibkan melakukan sesuatu pekerjaan, sewajarnya bila disore hari dia memperhitungkan gerak dan diamnya. Ketika dia bergerak tentu dia tidak diam, untuk apa dia bergerak dan untuk apapula dia diam. Laksana seorang pedagang yang mencari keuntungan bersama temannya, setiap tahun, bulan dan hari selalu mencari keuntungan untuk mengumpulkan harta dunia dan takut betul akan kehilangan meskipun boleh jadi kehilangan harta merupakan kebaikan buat mereka. Kalau mereka berhasil mengumpulkan harta yang banyak tentulah tidak akan kekal kecuali hanya untuk beberapa hari saja kemudian dia lenyap. Mengapa manusia yang dianugerah akal tidak memperhitungkan dirinya. Artinya mengapa orang yang berakal meninggalkan penghitungan terhadap dirinya yang selalu berhubungan dengan kekhawatiran akan mendapat celaka atau bahagia buat selama-lamanya .Menganggap gampang urusan ini tidak lain hanyalah kelalaian belaka serta menunjukkan sedikit sekali mendapatkan taufiq, kita mohon perlindungan Allah dari keadaan semacam itu (Na’uzubillahi min dzalik). Berhitung dengan kawan sekerja artinya memperhatikan modal pokok, laba dan ruginya agar dapat diketahui bertambah atau berkurangnya harta mereka. Andaikan beruntung tentu dia akan mengambil bagiannya secara utuh, tetapi jika rugi tentu dia akan menuntut jaminan dan membebankannya pada perolehan yang akan datang. Modal pokok seorang hamba dalam agamanya adalah semua jenis fardhu. Keuntungannya adalah yang sunnat-sunnat dan yang mengandung fadhilah amal. Kerugiannya adalah semua jenis maksiat. Musimannya atau waktu berdagangnya adalah seluruh hari. Temannya bekerja adalah nafsunya sendiri yang selalu menjerumuskan dia dalam kejahatan. Pertamakali hendaklah menghitung-hitung yang fardhu karena yang fardhu itu merupakan modal pokok baginya. Jika dia dapat menunaikan yang fardhu seperti shalat, puasa dan lainnya sesuai dengan ketentuannya, adabnya, syarat dan rukunnya, hendaklah dia bersyukur kepada Allah dan hendaknya dapat mendorongnya untuk melakukan amaliah fardhu yang serupa. Jika lewat dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan hendaklah dia membayarnya dengan cara qadha karena membayar secara qadha’ (diluar waktu yang ditentukan) bernilai sama dengan pembayaran secara ada’ (tepat waktu). Akan tetapi jika pembayarannya kurang adabnya atau syaratnya, maka hendaklah menempelnya dengan yang sunnat-sunnat. Jika terlanjur berbuat maksiat seperti zina sehingga selalu gelisah karena akan mendapatkan akibatnya dan azab serta cercaan maka hendaklah dia menebusnya dengan memperbaiki apa yang salah dan memberikan hukuman terhadap dirinya paling kurang melakukan yang sunnat-sunnat menurut amalan para auliya Allah dan orang-orang shaleh. Bila seseorang melakukan Muhasabah terhadap dirinya lalu dia menemukan ada amanah yang dikhianatinya atau perintah yang tidak sempurna dilakukannya, maka hendaklah dia memperbaikinya dengan bertaubat dan menempelnya dengan yang sunnat-sunnat seperti yang telah dikemukakan diatas. Jika tidak sanggup karena dikalahkan nafsu syahwat hendaklah dia mengobati nafsunya dengan siksaan dan janganlah dia memperturutkan nafsu syahwatnya itu, sebab jika memperturutkannya tentu akan mudah berbuat maksiat dan lupa diri serta sulit untuk meninggalkannya karena akan menjadi statis. Artinya dia akan berkekalan dalam berbuat maksiat, padahal keadaan semacam itu merupakan penyebab untuk mendapat celaka. Oleh sebab itu sepantasnyalah menyiksa dirinya karena telah melakukan perbuatan dosa yang tercela sebagai obat baginya sebab setiap penyakit itu ada obatnya. Bila telah memakan sesuap saja dari makanan syubhat berdasarkan keinginan nafsu, sepantasnyalah bila dia menyiksa perutnya dengan berlapar-lapar (berpuasa). Jika dia memandang seorang wanita yang bukan mahramnya sepantasnya pula bila dia menyiksa matanya dengan melarangnya untuk melihat. Demikian juga dia harus menyiksa seluruh anggota tubuhnya dengan cara mencegahnya dari keinginan syahwat. Begitulah kebiasaan orang-orang yang menempuh perjalanan menuju akhirat. Mansur bin Ibrahim R.a. telah meriwayatkan bahwa seorang laki-laki ahli ibadah berbincang-bincang dengan seorang wanita asing, tanpa disadarinya tiba-tiba laki-laki itu meletakkan tangannya diatas paha wanita tersebut, kemudian laki-laki itu sangat menyesal atas kejadian itu, lalu dia memasukkan tangannya kedalam api sampai terbakar. Diceritakan pula bahwa Hasan bin Abi Saman, memasuki sebuah kamar rumah mewah. Karena keindahan rumah tersebut hatinya berkata; “Kapan saya bisa membangun rumah semacam ini”. Setlah itu dia bermuhasabah dengan memperhatikan kemampuan dirinya, lalu dia berkata kepada dirinya sendiri; Wahai diri yang malang, kamu meminta seuatu diluar kemampuanmu, oleh karena itu aku akan menyiksa kamu dengan berpuasa selama satu tahun. Kemudian dia melakukan puasa selama satu tahun. Riwayat lain menceritakan bahwa Tamimi al-Dariy. R.a. tertidur semalam suntuk sehingga dia tidak melakukan shalat tahajjud, padahal biasanya setiap malam dia shalat tahajjud. Lalu dia menghukum dirinya dengan tidak tidur selama satu tahun. Wahai jiwa yang miskin ! Perhatikanlah kelakuan para Nabi dan para wali Allah. Bagaimana mereka membuat perhitungan (Muhasabah) terhadap diri mereka pada setiap waktu, setiap saat dan disetiap hembusan nafas. Mereka menyiksa dirinya bila tergelincir berbuat dosa atau kelalaian. Perhatikan pula junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Beliau beristighfar memohon ampun kepada Allah SWT setiap harinya tidak kurang dari seratus kali, padahal beliau dijaga oleh Allah (Maksum) agar tidak tergelincir kepada dosa kecil apalagi dosa besar. Kalau Nabi saja seperti itu mengapa kita tidak mau bermuhasabah, tidak mau bertaubat, pada hal kita selalu berenang di dalam lautan dosa, alangkah celakanya diri kita ini!.- Bila seorang hamba telah melakukan muhasabah, maka akan muncullah dua sifat mulia di dalam dirinya, yaitu sifat takut dan harap (khauf dan raja). Kedua sifat mulia ini selalu menghiasi sikap dan prilaku seorang hamba yang taat pada ajaran Allah dan Rasul-Nya. Malaikat adalah sosok makhluk Allah yang sangat ta’at kepada perintah Allah. Mereka tidak pernah mendurhakai apa saja yang diperintahkan Allah SWT. Abu Laits berkata; Sesungguhnya Allah Swt. memiliki malaikat-malaikat di langit yang selalu sujud kepada Allah semenjak mereka diciptakan sampai hari kiamat, seluruh persendian mereka gemetar karena takut menyalahi perintah Allah Swt. Apabila telah datang hari kiamat, mereka mengangkatkan kepalanya dan berkata; Maha suci Engkau Ya Allah, kami belum mengabdi kepada-Mu dengan sepenuh pengabdian. Ketakutan mereka itu digambarkan Allah dengan firman-Nya; يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (النحل: 50) Artinya: Mereka takut kepada Tuhannya yang di atas, dan mreka melaksanakan apa saja yang diperintahkan”. (Q. S : al-Nahl: 50) Takut kepada Allah membuat dosa-dosa terampuni, Rasulullah SAW bersabda; “ketika tubuh seorang hamba berkerut karena takut kepada Allah swt. maka berguguranlah dosa-dosanya bagaikan rontoknya daun-daunan dari pohonnya”. Banyak kisah nyata yang terjadi dizaman dahulu tentang seorang hamba yang mempunyai rasa takut kepada Allah kiranya dapat kita jadikan pelajaran yang berharga agar lebih mendekatkan diri kepada Allah. Dizaman dahulu ada satu rombongan musafir yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Pada suatu ketika mereka beristirahat disuatu tempat karena kelelahan. Diantara rombongan itu terdapat seorang laki-laki yang jatuh cinta kepada seorang wanita yang juga termasuk anggota rombongan tersebut. Di malam yang sunyi sepi wanita itu ingin buang hajat, lalu laki-laki yang menaruh hati kepadanya itu ikut menemaninya. Ketika mereka berdua berada ditempat yang sepi sementara rombongan lainnya sedang tidur pulas, laki-laki itu mengutarakan keinginannya untuk berbuat mesum dengan wanita tersebut. Wanita itu berkata; “cobalah kanda lihat terlebih dahulu, apakah teman-teman kita itu sudah tidur semua”. Mendengar permintaan kekasihnya itu, laki-laki tersebut dengan senang hati berangkat melihat dan memperhatikan semua anggota rombongan apakah mereka telah benar-benar tidur atau belum. Ternyata dari hasil pantauannya mereka semua telah tidur pulas. Dengan hati yang berbunga-bunga kembalilah dia menemui kekasihnya yang telah menunggu sendirian ditempat yang sepi. Lalu laki-laki itu berkata kepada kekasihnya itu “mereka semua sudah tidur”. Wanita itu bertanya lagi; Bagaimana pendapatmu tentang Allah, apakah saat ini Dia tidur ?. dengan tubuh gemetar laki-laki itu menjawab “sungguh Allah tidak pernah ngantuk dan tidak pernah pula Dia tidur”. Akhirnya wanita itu berkata “Sesungguhnya Allah yang tidak tidur saat ini dan selamanya Dia tidak pernah ngatuk dan tidur, tentu akan melihat apa yang kita lakukan meskipun mereka rombongan kita itu dalam keadaan tidur nyenyak, oleh karena itu tentu Allah lebih pantas kita takuti daripada manusia. Akhirnya laki-laki itu langsung meninggalkan tempat tersebut dan kembali ketempat peristirahatannya dengan sekujur badannya gemetar. Di malam itu juga dia bermuhasabah dia mengingat-ingat perbuatannya tadi, dia sangat menyesal, dan dia memohon ampun kepada Allah atas kelancangannya itu. Tidak lama setelah itu laki-laki tersebut meninggal dunia, selang beberapa malam setelah dia meninggal banyak orang berminpi bertemu dengannya, meraka bertanya kepada laki-laki itu bagai mana Allah memperlakukannya, laki-laki itu menjawab bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosanya karena dia meninggalkan perbuatan dosa disebabkan takut kepada Allah. (al-Ghazali, Mukasyfatu al-Qulub : 1977 : 9). Dalam kitab yang sama Imam al-Ghazali memaparkan cerita pengarang kitab Mujammi’ al-Lathaif bahwa dizaman Nabi Musa A.s. hiduplah seorang ‘abid miskin yang mempunyai banyak anggota keluarga. Pada suatu hari mereka ditimpa kelaparan dan tidak ada makanan yang dapat mereka makan, mau membelipun uang tidak punya. Melihat anak-anaknya menangis kelaparan, disuruhnyalah isterinya menemui seorang saudagar kaya untuk meminta makanan. Lalu berangkatlah isterinya itu seorang diri menemui saudagar kaya tersebut dan mengutarakan maksud dan tujuan kedatangnnya. Mendengar cerita perempuan tersebut, saudagar kaya itu berkata; saya mau membantumu dan keluargamu, asalkan kamu mau melayani keinginanku”. Mendengar tawaran tersebut perempuan itu terdiam, lalu dia pulang dengan tangan hampa. Sesampainya dia dirumah, perempuan itu mendapatkan anak-anaknya menangis dan merintih. ibu…! Ibu….! berilah kami makan, kami sudah tidak kuat lagi menahan derita kelaparan ini, ibu ! berilah kami apa saja yang dapat kami makan, kalau tidak tentu kami akan mati kelaparan. Dengan tetesan air mata mendengar rintihan anak-anaknya, perempuan itu kembali lagi kerumah saudagar kaya tersebut. Dia menceritakan apa yang mereka alami, dia ceritakan pula rintihan anak-anaknya yang kelaparan, tapi saudagar kaya tersebut tidak peduli, dan tetap pada tawarannya semula; “saya mau membantumu dan keluargamu asalkan kamu mau melayaniku”. Karena tuntutan keadaan, wanita itu menganggukkan kepalanya sebagai pertanda persetujuannya untuk melayani napsu birahi saudagar kaya tersebut. Ketika mereka berdua sudah masuk kedalam kamar, gemetarlah sekujur tubuh wanita itu, sendi-sendi seakan copot dari tempatnya. Lalu saudagar kaya itu bertanya; mengapa kamu gemetar, dan kamu tidak usah takut kepadaku, karena aku tidak akan menyakitimu. Wanita itu menjawab dengan penuh rasa takut. “Tuan ! saya sebenarnya bukan takut kepada tuan, tapi saya takut kepada Allah, bukankah perbuatan kita ini dilihat dan diperhatikan Allah ?”. Mendengar ucapan perempuan tersebut, saudagar kaya itu sadar dan diapun berkata; kamu yang miskin ini masih takut kepada Allah, seharusnya saya lebih takut kepada Allah daripada kamu. Sekarang kamu pulang saja dan bawalah pemberianku ini untukmu dan keluargamu, berilah mereka makan serta maafkanlah kelancanganku. Akhirnya perempuan itu pulang kerumahnya dengan membawa berbagai macam makanan dan keperluan lainnya sebagai hadiah dari saudagar kaya tersebut. Tidak lama setelah itu turunlah titah Allah kepada Nabi Musa a.s. yang memerintahkan agar Nabi Musa menyampaikan firman Allah; “Katakanlah kepadanya (saudagar kaya itu) bahwa Aku telah mengampuni dosa-dosanya”. Berangkatlah Nabi Musa menemui saudagar kaya itu dan berkata; amal shaleh apa yang telah engkau perbuat hingga Allah mengampuni dosa-dosamu ?. Saudagar itu menceritakan tentang apa yang telah dialaminya bahwa dia mengurungkan niatnya melakukan perbuatan mesum dengan seorang wanita lantaran takut kepada Allah. Mendengar cerita itu Nabi Musa A.s. berkata; “sesungguhnya Allah benar-benar telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu”. Seorang hamba yang melakukan muhasabah hingga terbitlah rasa takutnya kepada Allah mengingat banyaknya dosa yang telah dilakukan, sedangkan permohonan ampun yang selalu dilantunkannya tidak pernah diketahui apakah dikabulkan Allah atau tidak, tentu akan membuat air mata menetes karena penyesalan yang mendalam, mengapa umur yang telah dilewati tidak untuk beramal shaleh, mengapa kertas putih kehidupan ini banyak dihiasi dengan catatan-catatan hitam, bukankah buku catatan kehidupan ini kelak akan diserah terimakan kepada yang bersangkutan, alangkah celakanya bila ketika itu buku catatan amal diterima dari arah sebelah kiri yang menunjukkan nilai dan prestasi yang sangat jelek, disaat itu penyesalan tidak akan ada lagi artinya. وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَالَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ . وَلَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ . يَا‎لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ . مَا أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ . هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ. خُذُوهُ فَغُلُّوهُ . ثُمَّ لْجَحِيمَ صَلُّوهُ . ثُمَّ فِي سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا سَبْعُونَ ذِرَاعًا فَاسْلُكُوهُ . إِنَّهُ كَانَ لَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ (الحقة : 25 – 33) Artinya: Adapun orang yang kepadanya diberikan kitab dari sebelah kirinya, maka dia berkata: Alangkah baiknya andaikan kitab ini tidak diberikan kepadaku, dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku, Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaan dariku (Allah berfirman): "Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya." Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Lalu belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar. (Q.S. al-Haqqah : 25 – 33). Penyesalan yang mendalam ketika itu sungguh tidak akan ada lagi artinya, tepatlah kata pepatah “sesalilah dahulu pendapatan, karena sesal kemudian takkan ada gunanya”. Penyesalan sesudah kematian tentu takkan berguna, tetapi penyesalan sebelum datang waktu kematian tentu sangat berguna, sebab penyesalan yang mendalam pada saat sekarang ini akan menimbulkan tangisan dengan tetesan air mata, padahal tetesan air mata penyesalan itu akan memadamkan api neraka. Nabi SAW bersabda; “Tidak akan masuk neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah, entah kalau air susu kembali ketempat asalnya” . Bulu mata yang basah karena tetesan air mata penyesalan dan ketakutan kepada Allah akan menjadi saksi di akhirat nanti bahwa orang yang bersangkutan telah bertaubat kepada Allah sehingga menyebabkan dia masuk kedalam syurga meskipun yang semula dia telah diputuskan untuk masuk neraka. Dalam kitab Daqaiqu al-Akhbar dijelaskan bahwa pada hari kiamat nanti ada seorang hamba yang timbangan dosanya jauh lebih berat dari pahalanya, sehingga kepada para malaikat diperintahkan untuk membawa orang tersebut kedalam neraka. Lalu satu helai bulu matanya angkat bicara; ”Ya Rabby ! Rasul-Mu Muhammad Saw telah bersabda ‘siapa yang menangis karena takut kepada Allah, maka Allah mengharamkannya masuk neraka’, sungguh aku pernah menangis karena takut kepada Mu Ya Allah”. Kemudian Allah mengampuni dosa-dosanya dan memerintahkan kepada malaikat untuk membawa orang itu kedalam syurga. Lalu malaikat Jibril A.s. mengumumkan bahwa fulan bin fulan selamat dari siksaan neraka karena sehelai bulu matanya. Takut kepada Allah artinya takut akan siksaan dan ancaman Allah karena kesalahan hamba selama hidupnya di dunia ini. Dalam realitas kehidupan berbagai macam sebab yang membuat orang takut akan siksaan Allah itu. Ada yang takut atas perbuatan syiriknya, ada yang takut atas dosa kedustaannya, ada yang takut karena kurang ibadahnya, dan lain sebagainya. Dan karena rasa takut itu pulalah salah satu penyebab seorang hamba masuk syurga dan terlepas dari neraka. Kita membaca riwaya zaman dahulu, betapa seorang hamba masuk syurga karena sehelai bulu mata yang pernah basah terkena air mata penyesalannya atas dosa yang pernah dia lakukan. Begitu juga betapa seorang hamba masuk syurga karena seekor lalat, dan betapa seseorang yang juga masuk neraka gara-gara seekor lalat. Dalam sebuah hadits riwayat Ahmad, Nabi SAW pernah menceritakan tentang seorang hamba yang masuk neraka karena seekor lalat, dan seorang hamba masuk syurga karena seekor lalat. Para sahabat yang hadir ketika itu bertanya; Ya Rasulullah! mengapa sampai terjadi seperti itu ?. Lantas Nabi bercerita; Pada suatu hari ada dua orang musafir melewati sekelompok orang yang sedang menyembah berhala. Mereka berdua ini tidak dibenarkan melewati tempat itu sebelum mereka memberikan sesajian kepada berhala yang mereka sembah, pada hal tidak ada jalan lain yang dapat dilewati selain jalan tersebut. Para penyembah berhala itu memerintahkan kepada dua orang musafir ini untuk memberikan sesajian kepada berhala yang mereka sembah. Keduanya berkata; “Kami tidak punya apa-apa yang dapat kami persembahkan kepada berhala ini”. Penjaga berhala lantas memanggil mereka berdua satu persatu, dan kepada musafir yang dipanggil pertama dipaksa untuk memberikan sesajian untuk berhala itu walaupun hanya seekor lalat. Lalu orang ini mencari seekor lalat dan dia mendapatkannya kemudian dia persembahkan kepada berhala itu, akhirnya orang ini diperkenankan meneruskan perjalanannya tanpa diganggu oleh para penjaga berhala tesebut. “orang ini masuk neraka” kata Nabi SAW. Kemudian dipanggil pula musafir yang keduanya, dan kepadanya diperintahkan pula mencari seekor lalat untuk dipersembahkan kepada berhala yang mereka tunggui itu. Tetapi musafir yang kedua ini berkata; “berkurban untuk selalin Allah adalah syirik, dan saya takut kepada Allah atas perbuatan syirik ini, untuk itu saya tidak mau berkurban selain hanya untuk Allah saja”. mendengar jawaban musafir yang kedua ini, penjaga berhala itu marah, lalu dipenggallah lehernya. Tetapi orang ini masuk syurga, kata Nabi SAW. Kisah-kisah diatas menunjukkan betapa rasa takut kepada siksaan Allah mampu memunculkan rasa cinta (mahabbah) kepada Allah yang pada gilirannya memunculkan pula rasa harap (raja’) akan rahmat-Nya yang Maha Luas, kasih-Nya yang tak pilih kasih, sayang-Nya yang tak alang kepalang. Semoga kita semua termasuk orang yang dikasihi dan disayangi Allah sehingga melimpahlah rahmat dari-Nya. Amien Ya Rab al-‘Alamin.

Sabtu, 18 Agustus 2012

INDAHNYA KEBERSAMAAN DALAM KESUCIAN

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته الله اكبر 9× الله اكبر كبيرا والحمدلله كثيرا وسبحان الله بكرة واصيلا . الحمدلله الذى شرفنا برمضانه وزينه بصيامه وجمله بعيده وكمله بالصدقات الواجبة فيه وبعده تتميما لشرفه وعزته اشهد ان لا اله الا الله وحده لاشريك له الملك العلام . واشهد ان محمدا عبده ورسوله سيدالانام . اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه ومن تبعه باحسان الىاخرالزمان . يأيهاالناس اتقواالله حق تقاته ولا تموتن الا وانتم مسلمون . قال تعلى : ونفس وما سواها فالهمها فجوارها وتقواها . قد افلح من زكاها وقدخاب من دسها . صدق الله العظيم . اما بعد : الله اكبر – الله اكبر – الله اكبر ولله الحمد KAUM MUSLIMIN DAN MUSLIMAT RAHIMAKUMULLAH. Puasa Ramadhan telah kita jalani, berbagai aktivitas ubudiyah telah kita lakukan dengan harapan agar kita menjadi hamba yang taqwa, hamba yang terbebas dari belenggu hawa nafsu. Allah memperingatkan manusia agar tidak mengikuti hawa nafsu, karena hawa nafsu itu akan menghalangi kita beribadah dan menghilangkan kenikmatan beribadah, menjauhkan manusia dari Allah, serta menutupi pandangan untuk bermusyahadah dengan-Nya. Hawa nafsu itu juga mematikan hati sehingga hati tidak dapat menerima pelajaran dan nasehat-nasehat, tidak mampu memandang urusan akhirat, tidak mampu berfikir tentang akibat dari perbuatan apakah akan bermanfaat atau mudharat, akan baik atau buruk, surga atau neraka. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hawa itu adalah kecenderungan hati kepada apa yang diinginkan oleh nafsu agar manusia itu lupa kepada akhirat, seperti senda gurau, bermain-main, sombong dan takabbur, riya’, senang disanjung dan dipuja, cinta dunia, jelek tutur katanya, makanan dan minuman yang haram dan lain sebagainya dari semua sifat-sifat tercela. Jika kita mengikuti keinginan nafsu tadi, tentu akan termasuk orang yang tertipu didunia dan di akhirat. Didunia sangatlah nyata, karena orang yang mengikuti hawa nafsunya pasti akan diasingkan dan ditinggalkan orang lain. Orang tidak akan memandangnya dengan mata sayu, tetapi dengan muka masam dan mata terbulalang, kerugian besar tentunya yang didapat dikala itu. Sedangkan di akhirat akan ditempatkan pada kelompok kiri yang sangat merugi, dan menjadi penghuni neraka yang sangat menyakitkan. Allah berfirman; وَلاَ تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ “Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”(Q.S.Shad:26). وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى . فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى (النازعات : 40 -41) Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya. (Q.S. al-Naazi’at : 40 – 41). Athoillah mengatakan; Ciri-ciri orang mengikuti hawa nafsu itu adalah bersungguh-sungguh dalam melakukan yang sunnat-sunnat, tetapi malas mengerjakan yang wajib, gampang sekali melakukan perbuatan bathil, tetapi sangat berat melakukan sesuatu yang benar meskipun untuk dirinya sendiri. Mestinya manusia itu terlebih dahulu menunaikan yang fardhu sesuai dengan ketentuan dan adabnya, kemudian setelah itu baru mengerjakan yang sunnat-sunnat sesuai dengan kadar kemampuannya. Selain itu hendaklah kita membiasakan amalan wirid / zikir sebagai suatu kewajiban, baik disiang hari maupun dimalam hari. Hendaklah pula kita berjuang dengan sungguh-sungguh melawan hawa nafsu dalam meninggalkan segala yang diharamkan atau yang dimakruhkan. Sedangkan hal-hal yang mubah dapat dijadikan sebagai tambahan ibadahnya agar lebih baik lagi. Berbagai musibah yang menimpa anak manusia dimuka bumi ini, termasuk kita di Indonesia ini adalah sebagai akibat dari memperturutkan hawa nafsu, karena itu dibulan syawal ini setelah kita menjalankan ibadah ramadhan kita bersihkan diri kita dari segala kesombongan dan keserakahan hawa nafsu. Kita ganti sifat-sifat yang terpuji, sifat-sifat kemuliaan sebagai cerminan dari diri yang suci. “Sungguh beruntung orang-orang yang mensucikan dirinya, tetapi sungguh merugi mereka yang mengotorinya” (Q.S. Al-Syams : 8). Keberuntungan orang-orang yang hatinya suci bukan hanya dirasakan oleh orang yang bersangkutan, tetapi juga dapat dinikmati oleh orang lain, karena orang yang suci hatinya akan memunculkan sifat-sifat terpuji seperti; sabar, ikhlas, pemaaf, kasih sayang terhadap sesama dan lain sebagainya. Kita dapat perhatikan betapa indahnya kebersamaan dalam kesucian itu seperti dikisahkan dalam suatu riwayat; bahwa dalam suatu pertempuran dimasa Rasulullah SAW, ada seorang sahabat yang ikut berperang, dia membawa air minum yang waktu itu hanya tinggal sedikit. Ketika hawus terasa, dibukanya tempat air minum yang dibawanya itu. disaat dia akan meminumnya, dia mendengar rintihan seorang sahabat lain yang meminta air karena kehausan disebabkan dia terluka. Mendengar rintihan sahabat tersebut, dia berkata didalam hatinya; saya memang haus dan membutuhkan air minum ini, tetapi saudara saya yang merintih itu mungkin dia lebih membutuhkan air ini dari pada saya, lalu bergegaslah dia mengantarkan air minum tersbut. Sesampainya dia ditempat sahabat yang terluka itu, dan diberikanlah air minum yang sedikit tersebut. Begitu shabat yang terluka itu akan meminumnya, dia mendengar ada rintihan dari sahabat lain yang juga merintih kesakitan karena dia juga terluka, dan dia meminta air minum. Lalu sahabta yang pertama tadi berkata kepada sahabat yang punya air, berikanlah air minum ini kepada saudaraku yang meminta minum itu, mungkin dia lebih membutuhkan ketimbang aku. Lalu bergesalah sahabat yang punya tadi kepada sahabat kedua itu. Begitu sahabat yang kedua itu akan meminum air tersebut, terdengar pula rintihan sahabat lain yang juga kehausan dan meminta air minum. Ber katalah sahabat yang kedua itu, berikanlah air mimnum ini kepada saudaraku yang meminta air itu mungkin dia lebih membutuhkannya ketimbang aku. Bergegaslah sahabat yang punya air tersebut untuk memberikan air tadi, tapi setelah sampai ditempat shabat yang ke tiga itu, dia sudah menungga dunia. Lalu kembalilah dia kepada sahabat yang kedua tadi, diapun sudah meninggal dunia, terus menuju sabahat yang pertama tadi, diapun sudah meninggal dunia. Di hari fitrah ini tentu akan terlihat dan terasa oleh kita dampak dari kesucian tersebut, karena kita sedang berada pada kondisi “Idul Fitri” artinya kembali kepada kesucian. Hendaklah membiasakan khudhu’ (merendahkan diri), dan Tazallul (merasa hina), Ikhlash dan shabar terhadap musibah yang menimpa baik berupa bala’ maupun berbagai macam musibah lainnya. Hati akan tetap keras dan sulit taat beribadah sampai nafsu itu mengikuti akal yang sempurna dan agama yang kuat. Dalam kehidupan ini, manusia sulit melepaskan diri dari keinginan nafsunya kecuali mendapat rahmat dari Allah SWT. Untuk itu puasa bulan ramadhan merupakan salah satu cara untuk melatih diri dalam mengendalikannya, mudah-mudahan setelah kita menjalankan ibadah ramadhan tahun ini kita diberi kemampuan oleh Allah untuk mengendalikan nafsu kita. karena nafsu itu bagi manusia merupakan lawan sekaligus kawan bermain laksana orang bermain bola. Satu kali saja kita memasukkan bola kegawang lawan sedangkan lawan tidak, maka kita keluar jadi pemenang karena ada lawan. Tetapi biar seratus kali kita memasukkan bola kegawang yang tidak ada lawan, maka kita tidak akan pernah dikatakan pemenang karena tidak ada lawan. Oleh karena itulah sebenarnya nafsu itu sebagai lawan sekaligus menjadi kawan bermain. Akan tetapi dikala orang mulai bermain dengan nafsunya lebih sering kalah ketimbang menang, meskipun kadang-kadang ada juga menangnya. Kalau nafsu diibaratkan sebagai lawan bermain, maka ketika manusia itu mulai bermain dengan nafsunya dapat di bagi menjadi tiga kelompok. 1. Dikalahkan oleh nafsuya; Orang semacam ini pasti akan celaka. 2. Mengalahkan dan dikalahkan; Kadang-kadang dia mengalahkan nafsunya, tetapi kadang-kadang pula dia dikalahkan oleh nafsunya itu. 3. Selalu dapat mengalahkan nafsunya, seperti Nabi dan walli Allah yang suci. Agaknya inilah maksud Firman Allah yang berbunyi; وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى (النازعات:40-41) Adapun orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsu, maka surgalah tempat tinggalnya (Q.S. al-Nazi’at : 40). Nabi SAW bersabda; مَامِنْ اَحَدٍ اِلاَّ وَلَهُ شَيْطَانٌ وَاَنَّ اللهَ قَدْ اَعَانَنِى عَلَى شَيْطَانِى حَتَّى مَلَكْتُهُ فَاِنَّ الشَّيْطَانَ يُسَلِّطُ عَلَى اْلاِنْسَانِ بِحَسْبِ وُجُوْدِ الْهَوَى فِيْهِ Tidak seorangpun (dari manusia) melainkan syaithon selalu bersamanya. Sungguh Allah benar-benar telah menolongku untuk mengalahkan syaithonku sampai aku dapat menguasainya, karena memang syaithon itu akan berupaya menguasi manusia dengan menggunakan hawa yang ada pada diri manusia itu sendiri. Ketahuilah wahai saudaraku ! bahwa diantara pekerjaan akal itu adalah memilih dan memilah mana yang lebih agung dan lebih baik dalam berbagai macam akibat, terkadang padamulanya terasa susah payah bagi dirimu. Lain halnya dengan nafsu yang selalu kebalikan dari akal, karena nafsu itu menolak sesuatu yang menyakitkan secara lembut sehingga terasa nikmat dan menyenangkan, namun akibatnya sangat menyedihkan, Nabi SAW bersabda; حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهْوَاتِ “Surga itu dihiasi dengan yang dibenci, sedangkan neraka dihiasi dengan yang disukai”. Selain itu, akal melihat apa yang bermanfaat dan apa yang memberi mudharat bagi tuannya, sedangkan nafsu melihat yang bermanfaat saja bagi tuannya tidak melihat apa yang akan memberi mudharat baginya, dan buta terhadap akibat dari apa yang dibencinya. Nabi SAW bersabda; حُبُّكَ لِلشَّيْءِ يَعُمَّى وَيَصُمُّ “Kecintaanmu terhadap sesuatu membuat mata buta dan telinga menjadi tuli”. Orang yang mempergunakan akalnya akan selalu memperhatikan apa yang menguntungkan bukan yang merugikannya, dan meyakini bahwa kecintaan terhadap sesuatu itu adalah keinginan nafsu bukan dari akalnya. Bila dihadapkan kepadamu dua alternatif yang harus dipilih, maka mantapkanlah pandanganmu sebelum menetapkan pilihan dengan mempertimbangkan resiko yang paling ringan. Ulama sufi berkata; Bila dihadapkan kepadamu dua pilihan, sedang kamu tidak tahu mana diantara keduanya yang baik dan benar, maka pilihlah yang tidak kamu sukai, sebab kebanyakan yang baik itu ada pada yang dibenci. Allah berfirman; عَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ Boleh jadi sesuatu yang kamu benci itu adalah baik untukmu, dan boleh jadi pula sesuatu yang kamu sukai itu adalah buruk bagimu. (al-Baqarah 216). Sebagai bukti kejelekan hawa itu telah dinyatakan Allah dalam Al-Quran: وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَائهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ Andaikan kebenaran itu mengikuti hawa mereka, pastilah langit dan bumi serta semua yang ada di dalamnya akan rusak binasa. (al-Mukminun: 71) Tidak setiap apa yang diinginkan manusia di beri oleh Allah meskipun masing-masing mereka berharap untuk mendapatkannya, sebab bila kebenaran itu mengikuti hawa nafsu pastilah alam ini akan hancur. Namun terkadang manusia tidak peduli yang penting bagi mereka bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan bahkan terkadang dengan cara-cara melampaui batas-batas ketentuan Allah. Demikianlah khutbah kita yang singkat ini, semoga ada manfaatnya untuk kita semua. Terima ksih atas segala perhatian dan kesabarannya mengikuti khutbah ini, mohon maaf atas segala kekurangannya. بارك الله لى ولكم ولسائر المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات فاستغفرواه انه هو الغفور الرحيم KHUTBAH KEDUA UNTUK IDUL FITRI الله اكبر 7× الله اكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة واصيلا. لا اله الا الله والله اكبر الله اكبر ولله الحمد . الحمد لله الذي جعل العيد في قلوب عباده فرحا وسرورا . اشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له واشهد ان محمدا عبده ورسوله . اللهم صل على سيدنا محمد وعلى اله واصحابه ومن تبع ملته الى يوم لقائك . اما بعد فيا ايها الحاضرون . اتقوا الله حق تقواه واعلموا ان يومكم هذا يوم عظيم يتخص الله فيه وعلى عباده من كل مقيم ومسافر فيباهي بكم ملائكته وانتم مشعرون بالتهليل والتحميد والتكبير قال تعلى : ان الله وملائكته يصلون على النبي ياايها الذين امنو صلوا عليه وسلموا تسليما . اللهم صل على سيدنا محمد وعلى اله واصحابه وسلم تسليما كثيرا . اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الاحياء منهم والاموات . اللهم اعز الاسلام والمسلمين واصلح جميع ولاة المسلمين واهلك الكفرة والمشركين ودمر اعداء الدين واعلى كلمتك الى يوم الدين اللهم اصلح لنا ديننا اللذي هو عصمة امورنا . واصلح لنا دنيانا التي فيها معاشنا واصلح لنا أخرتنا التي اليها معادنا واجعل الحياة زيادة لنا في كل خير واجعل الموت راحة لنا من كل شر . ربنا لاتزغ قلوبنا بعد اذهديتنا وهب لنا من لدنك رحمة انك انت الوهاب . ربنا اتنا في الدنيا حسنة وفي الاخرة حسنة وقينا عذاب النار وصل الله على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين والحمد لله رب العالمين . عباد الله ان الله يأمركم بالعدل والاحسان وايتاء ذالقربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم تتذكروان فاذكروا الله العظيم يذكركم واشكرواه على نعمه يزدكم واسئل من فضله يعطيكم ولذكر الله اكبر الله اكبر 3× والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Jumat, 19 Agustus 2011

MANUSIA ‘AJULA

MANUSIA ‘AJULA

وَيَدْعُ الإِنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَائَهُ بِالْخَيْرِ وَكَانَ الإِنْسَانُ عَجُولاً (الاسرأء :11)
“Dan manusia mendo`a untuk kejahatan sebagaimana ia mendo`a untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa – ‘ajula - ” (Q.S : 17 : 11).
Ayat diatas menjelaskan bahwa salah satu sifat manusia adalah tergesa-gesa (ajula), semuanya ingin cepat mendapat meskipun hanya sedikit, daripada mendapat banyak tapi tertunda. Dalam hal dia mengharap kebaikan ingin secepatnya diterima walaupun nilai kebaikan yang diterimanya itu lebih rendah dibndingkan apabila dia menunggu beberapa saat. Demikian pula dalam hal menghindar dari bencana atau marabahaya, manusia selalu ingin agar secepatnya terlepas dari bahaya itu, walaupun bahaya tersebut jauh lebih ringan bila dibandingkan dengan bahaya yang akan menimpanya di waktu mendatang. Anehnya manusia banyak yang memilih terhindar dari bahaya yang sedikit di dunia ini, tetapi tidak takut dengan bahaya yang lebih besar nanti di akhirat. Begitu juga lebih memilih kebahgiaan yang sementara di dunia ini ketimbang kebahagiaan yang kekal nanti diakhirat.
Sifat ajula adalah sifat yang selalu bersarang pada pikiran manusia, yakni sifat ingin cepat mendapat kebaikan dan ingin cepat terhindar dari keburukan atau kesengsaraan. Sifat ini seolah biasa dan umum kita rasakan, namun terkadang manusia salah pilih dan salah pandang sehingga mengakibatkan manusia rugi sepanjang masa, dikira beruntung, tapi rupanya buntung, dikira tali pengikat rupanya tali penjerat, dikira kubang rupanya lobang. Untuk itu Allah perintahkan kita agar tidak tenggelam dalam sifat ajula tersebut, sebab sifat itu salah satu bentuk ujian bagi manusia dalam menempuh perjalanan hidup di alam fana sekarang ini. Karenanya sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak ada gunanya. Bila diperhatikan lebih jauh apa yang disinyalir Allah pada ayat tersebut diatas, paling tidak ada dua hal mendasar untuk kita renungkan yaitu;

1. Bersabar dalam menerima sesuatu.
Manusia hidup atas dasar tiada daya dan upaya kecuali sesuatu yang diberikan Allah (lahaula wala quata illa billah). Tiada kesenangan kecuali dari-Nya, tiada kesusahan kecuali dari-Nya pula, dan tiada ketaatan kecuali petunjuk (hidayah) dari- Nya juga. Oleh karena itu kesabaran sangat dibutuhkan dalam menerima dan melaksanakan semuanya itu. Nabi SAW menyatakan bahwa kesabaran itu harus ada pada tiga tempat, yaitu sabar menghadapi musibah, sabar menjalankan taat, dan sabar dalam menghindari maksiat”. (Usman bin Hasan; Duirratu al-Nashihin : 193).
Dengan kesabaran, orang kaya tidak akan lupa diri, orang miskin tidak akan berputus asa, tidak terlalu bergembira bila beroleh rahmat, dan tidak terlalu sedih bila ditimpa musiabah. Sebab “mungkin yang kamu anggap buruk itu akan baik bagi kamu, dan mungkin pula yang kamu anggap baik itu akan buruk bagi kamu” (Q.S : 2 : 216).
Tanpa kesabaran sering kali orang miskin mengeluh dengan kemiskinannya, orang susah mengeluh dengan kesusahannya, dia berupaya dan berusaha untuk melepaskan diri dari jerat kemiskinan dan kesusahannya itu dengan berbagai cara mungkin mencuri, merampok dan lain sebagainya. Muncullah dalam pemikirannya “orang kafir kok kaya-kaya, tapi orang yang taat malah jadi miskin” akhirnya dia tinggalkan ketaatan dan dia laksanakan pendurhakaan terhadap Allah SWT. Pemikirannya bukan lagi pada keimanan dan ketaqwaan, tetapi berpindah kepada materi duniawi yang menggiurkan. Kemuliaan tidak lagi berlandaskan agama, tetapi hawa nafsu yang durjana. Pola pikirnya bukan lagi keikhlasan dengan mengharap ridha Allah tetapi materi yang melimpah ruah, dia lakukan berbagai cara untuk mendapatkan materi tanpa mengenal batas-nbatas agama lagi. Orang yang berfikiran semacam itu sebenarnya telah diperingatkan Allah dengan firman-Nya;
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ (الانعم : 44)
Artinya : Ketika mereka melupakan peringatan-peringatan yang telah diberikan kepada mereka kami bukakan semua pintu (kesempatan apa saja yang mereka inginkan) tetapi ketika mereka sedang bergembira ria dengan apa yang telah diberikan kepadanya, kami siksa mereka dengan tiba-tiba lalu mereka terdiam berputus asa. (Q.S : 6 : 44).
Dibukakannya semua pintu; artinya apa saja yang ingin mereka lakukan diberi kesempatan oleh Allah sehingga mereka memperoleh hasil dari apa yang mereka inginkan. Mereka ingin mencuri ada kesempatan, ingin merampok, korupsi, zina, judi, ada saja kesempatan untuk itu sampai mereka berhasil. Tetapi setelah mereka dapat memperoleh hasilnya, Allah akan mengambilnya kembali dengan seketika, mungkin hartanya disita, badan masuk penjara, keluarga kucar kacir, harta habis semuanya. Badan sakit-sakitan, anak nakal tidak karuan, sehingga menghabiskan uang yang selama ini dia kumpulkan. Akhirnya sampailah pada peringatan Allah yang berikutnya;
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى . قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا . قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ ءَايَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى . وَكَذَلِكَ نَجْزِي مَنْ أَسْرَفَ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِآيَاتِ رَبِّهِ وَلَعَذَابُ الآخِرَةِ أَشَدُّ وَأَبْقَى (طه : 127)
Artinya : Barang siapa yang berpaling dari peringatanku (tidak mengindahkan ajaran Allah) maka kepadanya diberikan penghidupan yang sempit, dan pada hari kiamat nanti kami akan bangkitkan mereka dalam keadaan buta, sembari merintih menyesali nasib. Mereka berkata; Ya Tuhan kami mengapa engkau himpunkan aku dalam keadaan buta, padahal dulunya (sewaktu di dunia) aku ini termasuk orang yang melihat ?. Ketika itu Allah berfirman; rasailah ! dulu ayat kami telah datang kepadamu tetapi kamu berpura-pura tidak tau (melupakannya), maka pada hari ini kamupun dilupakan. Demikianlah kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Tuahannya. Dan sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal. (Q.S : 20 : 124 – 127).

2. Jangan sampai salah pilih
Di alam dunia ini manusia dihadapkan pada dua potret kehidupan yang serupa tapi tak sama, ada kehidupan dunia, tetapi ada pula kehidupan akhirat, ada kebahagiaan dunia ada pula kebahagiaan akhirat, ada kesengsaraan dunia tapi adapula kesengsaraan akhirat, demikianlah seterusnya. Dalam memandang kedua potret itu manusia selalu di ingatkan Allah agar jangan samapai salah pilih “akhirat itu lebih baik bagimu daripada kehidupan dunia ini” (Q.S : 93 : 4). Ayat tersebut mengingatkan kita agar selalu memprioritaskan ukhrawi ketimbang duniawi, namun bukan berarti meninggalkan dunia sama sekali tapi “pergunakanlah apa yang diberikan Allah kepadamu untuk mencapai tujuan akhirat, dan jangan lupa bagianmu dari dunia ini” (Q. S : 28 : 77).
Telah sangat banyak yang diberikan Allah kepada kita seperti kesehatan, harta, pangkat, jabatan, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Pergunakanlah kesemuanya itu untuk mencapai kebahagiaan akhirat, namun kebahagiaanmu di dunia inijangan pula kamu lupakan. Tetapi harus diingat bahwa dunia ini akan fana, tidak kekal. Kebahagiaan disini hanyalah kebahagiaan semu dan bersifat sementara, karenanya jangan sampai terlena dengan kebahagiaan yang sedikit dan semu itu, sementara kamu lupakan kebahagiaan yang kekal diakhirat nanti.
Peringatan Allah tersebut sangat urgen untuk kita renungkan, apalagi menghadapi era globalisasi yang diwarnai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih dewasa ini, dimana orang selalu berfikir realistis, ekonomis dan materialistis. Segala sesuatu selalu diukur dengan materi, karenanya seringkali menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan materi. Tak ayal menjual agama untuk mendapatkan materi muncullah slogan berusaha sambil berinfaq, seolah-olah ummat ini tidak lagi mau berinfaq kalau tidak ada imbalan materi duniawi, tolong menolong tidak lagi berlandaskan agama, tetapi telah berubah menjadi ajang bisnis, sumbangan dan bantuan harus mengalami sunatan masal, tak pelak lagi bantuan untuk masjid dan korban bencana alam, pada hal kalau saja berinfaq dengan landasan ridha Allah semata “niscaya kamu akan diberi pahala dengan cukup sedangkan kamu sedikitpun tidak akan dirugikan”. (Q. S : 2 : 272)
Kenyataannya manusia condong memilih yang sedikit ketimbang yang banyak, memilih yang semu ketimbang yang kekal, sebab yang sedikit lebih cepat diterima di dunia ini, sedangkan yang kekal nanti di akhirat baru diterimanya. Oleh karena itu banyak manusia yang mengejar keuntungan yang sedikit dengan mengorbankan keuntungan yang banyak. Serbagai contoh kecil saja kita saksikan orang mau berhujan-panas bekerja dari pagi sampai larut malam hanya untuk mencari sesuap nasi, sementara shalat yang akan menyelamatkan hidupnya di dunia dan di akhirat nanti tidak dijalankannya. Pada hal apalah artinya kekayaan dunia dibandingkan dengan kekayaan akhirat yang dijanjikan Allah. Manusia selalu menghindar dari kesengsaraan dunia, sementara dia kejar kesengsaraan akhirat pada hal kesengsaraan akhirat jauh lebih dahsyat dan mengerikan dibandingkan kesengsaraan dunia. Oleh karena itu Allah peringatkan janganlah jadi manusia ‘ajula, yaitu ingin cepat mendapat kebahgiaan dunia dengan mengorbankan kebahgiaan akhirat. Ingin cepat terlepas dari kesengsaraan dunia, tetapi mengejar kesengsaraan akhirat.
Sebagai kesimpulan dari urai tersebut diatas, manusia sebaiknya tidak bersifat tergesa-gesa ( ajula). Tetapi berupaya dan berusaha dengan mengutamakan kepentingan ukhrawi tanpa harus melupakan kepentingan duniawi, sebab kebahagiaan ukhrawi lebih besar dan lebih kekal dibandingkan duniawi. Demikian pula janganlah kesengsaraan dan kesusahan duniawi akan menjauhkan kita dari Allah, sebab kesengsaraan ukhrawi jauh lebih dahsyat dibanding dengan kesengsaraan duniawi.
TASAWUF CENTRE PUSAT PENGEMBANGAN TASAWUF DAERAH LAMPUNG

Kamis, 04 Agustus 2011

Slideshow Pembangunan Masjid TQN

Pembangunan Masjid Tqn Lampung Slideshow

Pembangunan Masjid Tqn Lampung Slideshow: "TripAdvisor™ TripWow ★ Pembangunan Masjid Tqn Lampung Slideshow ★ to Bandar Lampung. Stunning free travel slideshows on TripAdvisor"

TASAWUF CENTREPUSAT PENGEMBANGAN TASAWUF DAERAH LAMPUNG

Sabtu, 16 Juli 2011

TASAWUF PADA MASA NABI SAW

Meskipun nama sufi dan tasawuf belum dikenal orang dalam abad Islam pertama, karena nama tasawuf baru dipakai setelah dua atau tiga generasi Islam, namun secara fenomenologi ia telah ada sejak generasi pertama. Abu Hasan Fusyanja mengatakan:
التصوف اليوم اسم ولا حقيقة وقد كان حقيقة ولا اسما
“Tasawuf pada masa sekarang adalah sebuah nama tanpa hakikat, tetapi semula ia adalah suatu hakikat tanpa nama”.
Al-Hujwiri menafsirkan pernyataan ini dengan berkata “dimasa shahabat Nabi dan Tabi’in, nama tasawuf belum muncul namun kenyataannya ada pada setiap orang. Tetapi sekarang nama itu muncul, namun tidak dalam kenyataannya”. Lebih jauh lagi akar tasawuf dapat ditemui pada praktek-praktek spiritual dimasa sebelum Islam yang telah dikenal oleh para petapa yang tersebar di tanah Arab dan dikenal sebagai Hunafa’, dan Rasulullah SAW menjadi wakil dari praktek mistikisme peninggalan leluhurnya, Nabi Ibrahim dan Ismail A.s. pada salah satu penyendiriannya (tahannuts) di gua hera’ beliau menerima wahyu al-Quran yang pertama. Dengan demikian kehidupan sufi sudah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW dan sahabatnya. Terdapat banyak contoh amaliah sufi yang dipraktekkan oleh Rasulullah SAW selama hidupnya bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul. Ini membuktikan bahwa ajaran tasawuf bukan meruapakan adopsi dari ajaran diluar Islam, bahkan Buya Hamka mengatakan “tasawuf Islam telah tumbuh sejak tumbuhnya agama Islam itu sendiri. Bertumbuh di dalam jiwa pendiri Islam itu sendiri yaitu Nabi Muhammad SAW, disauk airnya dari dalam al-Quran sendiri”.
Kehidupan Nabi Muhammad SAW dalam kesehariannya adalah kehidupan sufi yang murni dan menjadi inti dari kehidupan Islam yang sebenarnya. Secara totalitas dari kehidupan Nabi SAW tersebut menjadi contoh tauladan bagi siapa saja yang menginginkan kehidupan sejahtera lahir dan batin serta selamat didunia dan diakhirat. Oleh karena itu segala perilaku, perbuatan dan perkataan beliau menjadi landasan amaliah para sahabat dan kaum sufi yang hidup sesudahnya. Diantara praktek amaliah sufi yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah sebagai berikut;

1. Khalwat sebagai upaya membersihkan hati;
Khalwat yang dilakukan Nabi Muhammad SAW di Gua Hira’ merupakan bukti nyata amaliah sufi yang beliau lakukan dengan tujuan untuk mengembalikan kesucian jiwa (tahannuts) dari pertualangannya di alam fana ini kealam lahut tempat dimana seluruh arwah berasal. Bertahun-tahun lamanya beliau menyendiri beruzlah dan berkhalwat siang dan malam sendirian di Gua Hira’dengan berbekal makanan seadanya. Beliau duduk tafakkur berdzikir kepada Allah dengan sempurna sehingga terputus hubungannya dengan apa dan siapa kecuali hanya kepada Allah saja. Beliau lepaskan keterpautan hatinya dengan dunia, hawa dan nafsu dengan tujuan untuk membersihkan hati dan memerdekakan ruhani dari kekotoran dan keterikatannya dengan dunia ini. Ini terbukti dengan kebersihan hati yang sampai pada kesempurnaan jiwanya, Nabi SAW mampu menerima kalam Ilahy yang Maha Suci pertama kalinya berupa perintah kepada beliau untuk terus menerus membaca nama Allah yang telah menjadikan manusia dari segumpal darah (‘alaqah). Dia pula yang mengajar manusia apa yang sudah dan belum diketahuinya.
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ . خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ . اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمُ . الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ . عَلَّمَ الإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (العلق : 1 – 4)
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S : al-‘Alaq : 1 – 4)
Muhammad SAW sebagai contoh (Uswatun Hasanah) bagi manusia secara keseluruhan, mengaplikasikan perintah tersebut dalam kehidupannya terutama semenjak beliau menerima perintah itu, yaitu membaca segala sesuatu yang ada di alam ini atas nama Allah karenanya sejak itu pula beliau mulai berperan sebagai Rasul Allah. Artinya semua perbuatan, perkataan, tingkah laku, dan budi pekertinya menjadi pantulan cahaya secara langsung dari Allah SAW.

2. Hidup sederhana
Hidup sederhana merupakan bagian dari kehidupan Nabi SAW. dalam rangka mengeratkan tali pengikat hubungannya dengan Allah, karena kesederhanaannya itu Jibril A.s. pun terharu melihatnya. Jibril datang menjumpai Nabi dan menyampaikan tawaran Allah kepadanya; Ya Muhammad ! manakah yang kau sukai, menjadi Nabi yang kaya raya seperti Nabi Sulaiman, atau menjadi nabi yang miskin seperti nabi Ayub ?. Muhammad SAW menjawab; “Aku lebih suka kenyang sehari, lapar sehari. Jika kenyang aku bersyukur kepada Allah, dan jika lapar aku bersabar atas cobaan tuhanku”.
Bukti kesederhanaan beliau terlihat pula ketika pada suatu hari beliau tidur dengan beralaskan sehelai tikar yang teranyam dari daun kurma, separoh tikar itu untuk alas punggungnya, dan separoh lagi ditarik untuk selimut, ketika beliau bangun terlihat jelas anyaman tikar itu membekasa dipunggung dan pipinya. Ibnu Mas’ud seorang shahabat terdekat dengan beliau menyaksikan langsung kejadian itu dengan linangan air mata jatuh membasahi pipi terisak menangis, karena nabi yang mulia dan agung, dimuliakan Allah, dihormati oleh seluruh makhluk yang ada di bumi dan di langit, yang bila beliau mau Allah akan mengabulkan dengan segera apa saja yang beliau minta, ternyata beliau hidup sangat sederhana, namun beliau tidak pernah mengeluh walau sedikitpun atas kesederhanaannya itu. Dengan perasaan haru, bibir gemetar, airmata bercucuran, Ibnu Mas’ud berkata kepada Rasul; Ya Rasulullah, izinkan saya mengambil sebuah bantal untuk alas kepalamu agar tidak terasa sakit. Rasul menatap wajah Ibnu Mas’ud seraya berkata; Tidak ada hajatku untuk itu wahai sahabatku. Aku ini laksana seorang musafir diperjalanan ditengah padang pasir yang luas dengan terik mentari yang panas, aku singgah agak sesaat disebuah pohon kayu nan rindang, aku rebahkan tubuhku sekedar melepas lelah untuk kemudian meneruskan perjalananku yang panjang menuju Tuhanku.
Hidup didunia ini diibaratkannya sebagai perjalanan yang panjang untuk menuju Allah. Kesempatan untuk menempuh perjalanan tersebut perlu digunakan dengan maksimal, sebab waktu yang tersedia sangat terbatas. Bahkan beliau menyarankan kepada para sahabatnya – sekaligus untuk ummatnya – agar menjadikan dunia ini sebagai tempat persinggahan sementara, dan menggunakan segala kesempatan untuk mencari bekal dalam perjalanan menuju Allah. Nabi bersabda;
عَنْ مُجَاهِدٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِ جَسَدِي فَقَالَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ وَعُدَّ نَفْسَكَ فِي أَهْلِ الْقُبُورِ فَقَالَ لِي ابْنُ عُمَرَ إِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تُحَدِّثْ نَفْسَكَ بِالْمَسَاءِ وَإِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تُحَدِّثْ نَفْسَكَ بِالصَّبَاحِ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ قَبْلَ مَوْتِكَ فَإِنَّكَ لاَ تَدْرِي يَا عَبْدَ اللَّهِ مَا اسْمُكَ غَدًا (رواه ترمذي)
Artinya: Mujahid meriwayatkan bahwa Ibnu Umar berkata; Ketika Rasulullah SAW memegang badanku beliau berkata; jadilah kamu di dunia ini seperti orang pendatang atau seorang perantau, dan siapkanlah dirimu untuk masuk kedalam kubur. Kemudian Mujahid berkata; Ibnu Umar berujar kepadaku, bila kamu berada pada waktu pagi, janganlah kamu mengira dirimu akan sampai petang, dan bila kamu berada pada waktu petang janganlah kamu mengira akan sampai pagi lagi. Oleh karena itu pergunakanlah sehatmu sebelum datang waktu sakit, hidupmu sebelum mati sebab kamu tidak tahu wahai Abdullah, apa namamu besok hari – apa masih manusia hidup atau sudah menjadi mayat – (H.R. Turmudzi).
Pola kesederhanaan Rasulullah SAW bukan saja diperaktekkan oleh diri beliau secara individu, tetapi beliau terapkan dalam kehidupan keluarganya. Hampir semua pengarang yang menulis sejarah hidup Nabi Muhammad SAW menceritakan bahwa rumahtangga beliau sepanjang masa selalu berada dalam kesederhanaan, tidak ada perabot rumah tangga yang tergolong mewah, bahkan alat rumah tangga yang diperlukan sehari-haripun jarang didapat, makanan lezat dan enak jarang sekali dirasakan, bahkan makanan pokok saja berupa roti kering yang terbuat dari tepung kasar atau satu dan dua biji kurma yang dibutuhkan setiap harinya belum tentu ada setiap waktu makan. Seringkali beliau berpuasa disiang hari lantaran sejak pagi sampai sore tidak ada makanan yang dapat dimakan. Dalam riwayat disebutkan bahwa ketika pagi hari beliau menanyakan kepada isterinya Siti Aisyah R.a. “Adakah makanan yang dapat kita makan dipagi hari ini wahai Aisyah ?. Aisyah menjawab; “tidak ada Ya Rasulullah”. Kalau begitu saya akan berspuasa saja kata Rasul.
Imam Bukhari menceritakan bahwa Aisyah R.a pernah mengeluh kepada keponakannya yang bernama Urwah dengan berkata; “Lihatlah Urwah, kadang-kadang berhari-hari dapurku tidak menyala dan aku bingung jadinya. Urwah bertanya; “Apakah yang menjadi makananmu sehari-hari ?, Aisyah menjawab; “Paling untung yang menjadi makanan pokok itu korma dan air, kecuali kalau ada tetangga-tetangga Anshar mengantarkan sesuatu kepada Rasulullah, maka dapatlah kami merasakan seteguk susu”. Aisyah R.a menambahkan bahwa keluarga Muhammad SAW dalam satu hari tidak pernah makan sampai dua kali, dan paling banyak makanan tersimpan di rumah tidak lebih dari sepotong roti yang dimakan oleh tiga orang.
Pada suatu hari Rasulullah SAW masuk Masjid, rupanya di dalam Masjid itu sudah ada Abu Bakar dan Umar R.a. Rasul bertanya kepada mereka berdua; “mengapa kalian berdua datang ke Masjid ini”. Keduanya menjawab; kami lagi menghibur lapar. Lalu Nabi SAW juga berkata; “saya juga menghibur lapar”, kalau begitu kata Nabi SAW mari kita kerumah Abu al-Hisyam barang kali ada makanan di situ. Berangkatlah mereka bertiga kerumah Abu al-Hisyam tersebut. Sesampainya disana beliau bertiga disambut oleh Abu al-Hisyam dengan penuh kegembiraan, langsung saja Abu Hisyam memerintahkan isterinya dan anak buahnya untuk membuat roti dan memotong seekor kambing. Setelah semuanya beres dihidangkanlah makanan itu dengan beberapa gelas air, merekapun makan bersama-sama. Sambil makan Rasul SAW berkata; “rasanya tidak ada makanan yang lebih nikmat dari ini”.
Hidup sederhana yang dialmi oleh Rasulullah SAW besarta keluarganya itu tentu bukanlah disebabkan ketidak mampuannya mendapatkan harta yang melimpah, atau makanan lezat yang bergizi tinggi, tetapi beliau memberi contoh kepada ummatnya bahwa kenikmatan dan kelezatan ukhrawi lebih pantas untuk dicari ketimbang kelezatan duniawi, kalau beliau mau apapun yang beliau minta dari Allah pasti dikabulkan-Nya. Hal ini pernah ditawarkan Allah SWT melalui Jibril A.s. untuk memilih apakah akan menjadi Nabi yang kaya raya seperti Nabi Sulaiman, A.s. atau menjadi Nabi yang miskin seperi Nabi Ayub A.s. ternyata Nabi SAW lebih memilih kenyang sehari dan lapar sehari (miskin) karena jika kenyang ada alasan untuk bersyukur, dan ketika lapar ada alasan untuk bersabar. Nabi SAW lebih memilih kebahagiaan hidup di akhirat ketimbang kemewahan duniawi, karena beliau tau persis bahwa kekurangan harta dunia bukanlah indikator dari kebencian Allah terhadap hamba-Nya, sedangkan kebahgaiaan akhirat tentu lebih utama untuk dicari ketimbang dunia ini, sebagai mana firman Allah yang berbunyi;
مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى . وَلَلآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الأُولَى . وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى (الضحى : 3 – 5)
Artinya: Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu, dan sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagimu dari dunia ini. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. (al-Dhuha : 3 – 5)

3. Zuhud terhadap dunia
Hidup zuhud terhadap dunia menjadi pakaian yang melekat dalam kehidupan Nabi SAW. Zuhud artinya melepaskan ketergantungan dengan duniawi, seperti ketergantungan hati kepada harta, pangkat, jabatan dan lain sebagainya dari berbagai bentuk kehidupan duniawi. Pakaian zuhud ini bukan saja menjadi pakaian beliau sehari-hari, tetapi juga menjadi ajaran yang beliau sampaikan kepada para sahabatnya. Nabi bersabda; “Zuhudlah kamu terhadap dunia, pastilah Allah mencintaimu. Dan zuhudlah kamu terhadap apa yang ada ditangan manusia, pastilah kamu dicintai manusia”. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah melewati seekor kambing yang sudah mati, lalu beliau bersabda kepada sahabatnya; “tahukah kamu kambing ini hina bagi yang memilikinya ? Para sahabat menjawab “karena kehinaannya itulah maka mereka melemparkannya”. Kemudian Nabi bersabda “Demi Allah yang jiwaku berada ditangan-Nya, sungguh dunia ini lebih hina dari kambing ini bagi pemiliknya. Seandainya dunia ini memadai disisi Allah dengan selembar sayap nyamuk, tentu Dia tidak akan memberi minum pada seorang kafir dengan seteguk air”. Nabi SAW bersabda lagi “Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir”. Abu Hurairah menceritakan bahwa dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda;
أَلاَ إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلاَّ ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالاَهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ (رواه الترمذى)
Artinya: Ketahuilah bahwa dunia ini dilaknati, dan dilaknati juga apa yang ada didalamnya, kecuali dzikir kepada Allah, dan apa saja yang mengikutinya serta orang yang tau atau orang yang mencari tau (belajar)”. (H.R. Turmudzi).
Abu Musa al-Asy’ari berkata; Rasulullah SAW bersabda; “Orang yang mencintai dunia, pastilah dia akan mengenyampingkan akhiratnya. Dan orang yang mencintai akhirat, pastilah dia akan mengenyampingkan dunianya. Oleh karena itu utamakanlah yang abadi atas yang temporer”. Pada suatu ketika Rasulullah SAW bersama beberapa orang sahabat berdiri didekat tempat sampah, lalu belai bersabda; “mari kita perhatikan dunia”, kemudian beliau mengambil beberapa pakaian usang yang telah rusak diatas tempat sampah itu dan beberapa tulang yang telah hancur, beliau bersabda; Ini adalah dunia sebagai suatu isyarat bahwa sesungguhnya perhiasan dunia akan usang seperti pakaian ini.Sesungguhnya tubuh-tubuh yang engkau lihat akan menjadi tulang belulang yang hancur”. Nabi SAW berkata pula; “Sesungguhnya dunia adalah sesuatu yang manis dan hijau, sedang Allah menjadikan kamu penguasa didalamnya. Lalu Dia melihat bagaimana kamu berbuat. Sesungguhnya kaum bani Bani Israil setelah dilapangkan dunianya, mereka menjadi bingung gemerlapan perhiasan, perempuan, wangi-wangian dan pakaian”.
Pakaian zuhud juga melekat pada keluarga Nabi SAW. hal ini terlhiat ketika pada suatu waktu Nabi SAW pulang kerumah isterinya Siti Khadijah R.a. didapainya Siti Khadijah sedang terisak menangis, lalu Nabi berkata; Wahai Khadijah apakah yang menyebabkan kamu menangis ? Apakah karena harta kekayaanmu telah habis dipergunakan untuk perjuangan Islam ini ?. Khadijah dengan cucuran air matanya sambil berkata; “Ya Rasulullah ! bukan itu yang aku tangiskan, tapi memikirkan bagaimana perjuanganmu nanti menegakkan Islam ini sekiranya saya telah berpulang kerahmatullah. Saya ini sudah tua Ya Rasulullah, sedangkan perjuanganmu menegakkan Islam ini belum selesai. Andaikan nanti Allah mentakdirkan saya mati terlebih dahulu, sedangkan engkau akan menyiarkan Islam ini disuatu tempat yang membutuhkan jembatan sedangkan aku telah berada dialam kubur, galilah kuburku nanti Ya Rasulullah, ambillah tulang belulangku untuk engkau jadikan jembatan agar dapat sampai ketempat yang dituju untuk menyampaikan Islam ditempat itu”.
Beberapa waktu kemudian Rasulullah SAW mengajak Siti Khadijah jalan menelusuri kaki buki Uhud sambil membawa sebuah keranjang. Sesampainya beliau berdua di kaki bukit tersebut Rasulullah SAW mengambil sebuah batu sebesar tinju yang ternyata sebingkah emas, lalu diberikannya kepada Siti Khadijah sambil berkata; Ambillah ini sebagai Rizki dari Allah, lalu dimasukkan kedalam keranjang yang dibawa oleh Siti Khadijah tersebut. Siti Khadijah sangat heran namun tidak berani bertanya, cuma saja didalam hati bertanya-tanya ada gengan apa ini. Setelah itu beliau berdua meneruskan perjalanan menuju keatas bukit uhud tersebut, sesampainya dipertengahan Rasul SAW mengambil sebuah batu yang lebih besar dari yang pertama tadi, ternyata juga sebingkah emas murni. Beliau berikan batu emas itu kepada Siti Khadijah dengan memasukkannya kedalam keranjang yang dibawa Siti Khadijah itu, beliau berkata; ambillah ini sebagai rizki dari Allah. Lagi-lagi Siti Khadijah terdiam dengan penuh pertanyaan didalam hati. Kemudian beliau berdua meneruskan perjalanan menuju puncak bukit uhud itu, ternyata tidak lama kemudian Rasulpun mengambil sebuah batu yang lebih besar lagi yang ternyata juga sebingkah emas murni. Rasul SAW memberikannya kepada Siti Khadijah dan memasukkannya kedalam keranjang sambil berkata; Ambillah ini sebagai rizki dari Allah. Akhirnya dengan linangan air mata jatuh membasahi pipi Siti Khadijah berkata; Ya Rasulullah! Bukan ini yang aku cari, aku tidak mencari dunia, tapi keridhaan Allah dan Rasul-Nya yang aku harapkan. Lalu Siti Khadijah membuang tiga bingkah emas tersebut.
Dalam banyak riwayat Nabi SAW menjelaskan posisi dunia ini bagi manusia. Abu Hurairah menceritakan bahwa dia pernah diajak oleh Nabi SAW melihat sebuah jurang dari beberapa jurang yang ada di Kota Madinah. Rasul bersabda; Ya Abu Hurairah maukah kamu saya perlihatkan dunia ini dan apa yang ada didalamnya ?. Abu Hurairah menjawab; mau ya Rasululullah ! lalu beliau membimbing tanganku dan memabawaku kesalah satu jurang dari beberapa jurang yang ada di kota Madinah. Ternyata didalamnya terdapat tempat-tempat sampah yang berisikan tengkorang manusia, kotoran-kototran, pakaian usang, dan tulang belulang., kemudian bersabda;
“Hai Abu Hurairah, kepala-kepala ini pernah rakus seperti kerakusanmu, dan berangan-angan seperti angan-anganmu, tetapi dikemudian hari dia menjadi tulang tanpa kulit dan kemudian menjadi abu. Dan kotoran-kotoran ini berasal dari bermacam - macam makanan yang telah mereka kumpulkan dari berbagai tempat tanpa memandang halal atau haram. Tetapi kemudian makanan itu dilemparkan kedalam perut dan akhirnya manusia berdesakan. Dan ini pakaian-pakaian mereka yang kemudia diombang-ambingkan angin. Dan tulang-tulang ini berasal dari tulang belulang binatang yang mereka kendarai dan pernah mereka gunakan untuk menjelajah pingiran-pinggiran negeri ini. Maka barang siapa yang menangisi dunia, maka hendaklah dia menangis. Akhirnya kami menangis dan tidak beranjak dari tempat itu sampai tangisan kami semakin keras”.
Ketika Rasulullah SAW berkhutbah beliau menyampaikan bahwa “orang-orang mukmin selalu berada pada dua kekhawatiran; Pertama, khawatir masa yang telah lalu, yang tidak diketahui bagaimana Allah menilai amal perbuatannya dan apa yang akan diperbuat oleh Allah terhadap dirinya sebagai akibat dari perbuatannya itu. Kedua; Khawatir masa yang akan datang karena dia tidak mengetahui apa yang telah ditetapkan Allah bagi dirinya. Oleh karena itu hendaklah kamu perbanyak bekal untuk dirimu sendiri, dunia untuk akhirat, muda untuk masa tua, hidup untuk mati, karena dunia ini diciptakan untuk kamu dan kamu diciptakan untuk akhirat. Demi Allah yang jiwaku ada ditangan-Nya, tidak ada taubat setelah mati, dan tidak ada perkampungan sesudah dunia ini kecuali surga atau neraka”.

4. Taubat dan ibadah
Fakta sejarah menunjukkan bahwa selama hayatnya, segenap prikehidupan Muhammad menjadi tumpuan perhatian masyarakat, karena segala sifat terpuji berhimpun pada dirinya. Bahkan beliau merupakan lautan budi yang tidak pernah kering meskipun diminum oleh semua makhluk. Amal ibdah yang beliau lakukan tiada bandingannya. Dalam riwayat, Rasulullah SAW beristighfar dalam satu hari satu malam tidak kurang dari 100 kali. Shalat tahajjud dan witir yang beliau lakukan tidak pernah terputus setiap malamnya, meskipun kakinya pecah-pecah karena terlalu sering terkena air. Apabila pada suatu malam beliau berhalangan melakukan shlat tahajjud, segera saja keesokan paginya beliau ganti (qdha’) sehingga kekosongan pada malam itu segera terisi pada besok paginya. Dengan demikian ibdahanya beliau tidak terganggu. Dalam bermunajat kepada Allah, perasaan khauf dan raja’ selalu diiringi dengan isak tangis yang sedu sedan, sampai jenggot dan surbannya basah terkena air mata.