Sabtu, 16 Juli 2011

TASAWUF PADA MASA NABI SAW

Meskipun nama sufi dan tasawuf belum dikenal orang dalam abad Islam pertama, karena nama tasawuf baru dipakai setelah dua atau tiga generasi Islam, namun secara fenomenologi ia telah ada sejak generasi pertama. Abu Hasan Fusyanja mengatakan:
التصوف اليوم اسم ولا حقيقة وقد كان حقيقة ولا اسما
“Tasawuf pada masa sekarang adalah sebuah nama tanpa hakikat, tetapi semula ia adalah suatu hakikat tanpa nama”.
Al-Hujwiri menafsirkan pernyataan ini dengan berkata “dimasa shahabat Nabi dan Tabi’in, nama tasawuf belum muncul namun kenyataannya ada pada setiap orang. Tetapi sekarang nama itu muncul, namun tidak dalam kenyataannya”. Lebih jauh lagi akar tasawuf dapat ditemui pada praktek-praktek spiritual dimasa sebelum Islam yang telah dikenal oleh para petapa yang tersebar di tanah Arab dan dikenal sebagai Hunafa’, dan Rasulullah SAW menjadi wakil dari praktek mistikisme peninggalan leluhurnya, Nabi Ibrahim dan Ismail A.s. pada salah satu penyendiriannya (tahannuts) di gua hera’ beliau menerima wahyu al-Quran yang pertama. Dengan demikian kehidupan sufi sudah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW dan sahabatnya. Terdapat banyak contoh amaliah sufi yang dipraktekkan oleh Rasulullah SAW selama hidupnya bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul. Ini membuktikan bahwa ajaran tasawuf bukan meruapakan adopsi dari ajaran diluar Islam, bahkan Buya Hamka mengatakan “tasawuf Islam telah tumbuh sejak tumbuhnya agama Islam itu sendiri. Bertumbuh di dalam jiwa pendiri Islam itu sendiri yaitu Nabi Muhammad SAW, disauk airnya dari dalam al-Quran sendiri”.
Kehidupan Nabi Muhammad SAW dalam kesehariannya adalah kehidupan sufi yang murni dan menjadi inti dari kehidupan Islam yang sebenarnya. Secara totalitas dari kehidupan Nabi SAW tersebut menjadi contoh tauladan bagi siapa saja yang menginginkan kehidupan sejahtera lahir dan batin serta selamat didunia dan diakhirat. Oleh karena itu segala perilaku, perbuatan dan perkataan beliau menjadi landasan amaliah para sahabat dan kaum sufi yang hidup sesudahnya. Diantara praktek amaliah sufi yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah sebagai berikut;

1. Khalwat sebagai upaya membersihkan hati;
Khalwat yang dilakukan Nabi Muhammad SAW di Gua Hira’ merupakan bukti nyata amaliah sufi yang beliau lakukan dengan tujuan untuk mengembalikan kesucian jiwa (tahannuts) dari pertualangannya di alam fana ini kealam lahut tempat dimana seluruh arwah berasal. Bertahun-tahun lamanya beliau menyendiri beruzlah dan berkhalwat siang dan malam sendirian di Gua Hira’dengan berbekal makanan seadanya. Beliau duduk tafakkur berdzikir kepada Allah dengan sempurna sehingga terputus hubungannya dengan apa dan siapa kecuali hanya kepada Allah saja. Beliau lepaskan keterpautan hatinya dengan dunia, hawa dan nafsu dengan tujuan untuk membersihkan hati dan memerdekakan ruhani dari kekotoran dan keterikatannya dengan dunia ini. Ini terbukti dengan kebersihan hati yang sampai pada kesempurnaan jiwanya, Nabi SAW mampu menerima kalam Ilahy yang Maha Suci pertama kalinya berupa perintah kepada beliau untuk terus menerus membaca nama Allah yang telah menjadikan manusia dari segumpal darah (‘alaqah). Dia pula yang mengajar manusia apa yang sudah dan belum diketahuinya.
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ . خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ . اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأَكْرَمُ . الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ . عَلَّمَ الإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (العلق : 1 – 4)
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S : al-‘Alaq : 1 – 4)
Muhammad SAW sebagai contoh (Uswatun Hasanah) bagi manusia secara keseluruhan, mengaplikasikan perintah tersebut dalam kehidupannya terutama semenjak beliau menerima perintah itu, yaitu membaca segala sesuatu yang ada di alam ini atas nama Allah karenanya sejak itu pula beliau mulai berperan sebagai Rasul Allah. Artinya semua perbuatan, perkataan, tingkah laku, dan budi pekertinya menjadi pantulan cahaya secara langsung dari Allah SAW.

2. Hidup sederhana
Hidup sederhana merupakan bagian dari kehidupan Nabi SAW. dalam rangka mengeratkan tali pengikat hubungannya dengan Allah, karena kesederhanaannya itu Jibril A.s. pun terharu melihatnya. Jibril datang menjumpai Nabi dan menyampaikan tawaran Allah kepadanya; Ya Muhammad ! manakah yang kau sukai, menjadi Nabi yang kaya raya seperti Nabi Sulaiman, atau menjadi nabi yang miskin seperti nabi Ayub ?. Muhammad SAW menjawab; “Aku lebih suka kenyang sehari, lapar sehari. Jika kenyang aku bersyukur kepada Allah, dan jika lapar aku bersabar atas cobaan tuhanku”.
Bukti kesederhanaan beliau terlihat pula ketika pada suatu hari beliau tidur dengan beralaskan sehelai tikar yang teranyam dari daun kurma, separoh tikar itu untuk alas punggungnya, dan separoh lagi ditarik untuk selimut, ketika beliau bangun terlihat jelas anyaman tikar itu membekasa dipunggung dan pipinya. Ibnu Mas’ud seorang shahabat terdekat dengan beliau menyaksikan langsung kejadian itu dengan linangan air mata jatuh membasahi pipi terisak menangis, karena nabi yang mulia dan agung, dimuliakan Allah, dihormati oleh seluruh makhluk yang ada di bumi dan di langit, yang bila beliau mau Allah akan mengabulkan dengan segera apa saja yang beliau minta, ternyata beliau hidup sangat sederhana, namun beliau tidak pernah mengeluh walau sedikitpun atas kesederhanaannya itu. Dengan perasaan haru, bibir gemetar, airmata bercucuran, Ibnu Mas’ud berkata kepada Rasul; Ya Rasulullah, izinkan saya mengambil sebuah bantal untuk alas kepalamu agar tidak terasa sakit. Rasul menatap wajah Ibnu Mas’ud seraya berkata; Tidak ada hajatku untuk itu wahai sahabatku. Aku ini laksana seorang musafir diperjalanan ditengah padang pasir yang luas dengan terik mentari yang panas, aku singgah agak sesaat disebuah pohon kayu nan rindang, aku rebahkan tubuhku sekedar melepas lelah untuk kemudian meneruskan perjalananku yang panjang menuju Tuhanku.
Hidup didunia ini diibaratkannya sebagai perjalanan yang panjang untuk menuju Allah. Kesempatan untuk menempuh perjalanan tersebut perlu digunakan dengan maksimal, sebab waktu yang tersedia sangat terbatas. Bahkan beliau menyarankan kepada para sahabatnya – sekaligus untuk ummatnya – agar menjadikan dunia ini sebagai tempat persinggahan sementara, dan menggunakan segala kesempatan untuk mencari bekal dalam perjalanan menuju Allah. Nabi bersabda;
عَنْ مُجَاهِدٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِ جَسَدِي فَقَالَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ وَعُدَّ نَفْسَكَ فِي أَهْلِ الْقُبُورِ فَقَالَ لِي ابْنُ عُمَرَ إِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تُحَدِّثْ نَفْسَكَ بِالْمَسَاءِ وَإِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تُحَدِّثْ نَفْسَكَ بِالصَّبَاحِ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ قَبْلَ مَوْتِكَ فَإِنَّكَ لاَ تَدْرِي يَا عَبْدَ اللَّهِ مَا اسْمُكَ غَدًا (رواه ترمذي)
Artinya: Mujahid meriwayatkan bahwa Ibnu Umar berkata; Ketika Rasulullah SAW memegang badanku beliau berkata; jadilah kamu di dunia ini seperti orang pendatang atau seorang perantau, dan siapkanlah dirimu untuk masuk kedalam kubur. Kemudian Mujahid berkata; Ibnu Umar berujar kepadaku, bila kamu berada pada waktu pagi, janganlah kamu mengira dirimu akan sampai petang, dan bila kamu berada pada waktu petang janganlah kamu mengira akan sampai pagi lagi. Oleh karena itu pergunakanlah sehatmu sebelum datang waktu sakit, hidupmu sebelum mati sebab kamu tidak tahu wahai Abdullah, apa namamu besok hari – apa masih manusia hidup atau sudah menjadi mayat – (H.R. Turmudzi).
Pola kesederhanaan Rasulullah SAW bukan saja diperaktekkan oleh diri beliau secara individu, tetapi beliau terapkan dalam kehidupan keluarganya. Hampir semua pengarang yang menulis sejarah hidup Nabi Muhammad SAW menceritakan bahwa rumahtangga beliau sepanjang masa selalu berada dalam kesederhanaan, tidak ada perabot rumah tangga yang tergolong mewah, bahkan alat rumah tangga yang diperlukan sehari-haripun jarang didapat, makanan lezat dan enak jarang sekali dirasakan, bahkan makanan pokok saja berupa roti kering yang terbuat dari tepung kasar atau satu dan dua biji kurma yang dibutuhkan setiap harinya belum tentu ada setiap waktu makan. Seringkali beliau berpuasa disiang hari lantaran sejak pagi sampai sore tidak ada makanan yang dapat dimakan. Dalam riwayat disebutkan bahwa ketika pagi hari beliau menanyakan kepada isterinya Siti Aisyah R.a. “Adakah makanan yang dapat kita makan dipagi hari ini wahai Aisyah ?. Aisyah menjawab; “tidak ada Ya Rasulullah”. Kalau begitu saya akan berspuasa saja kata Rasul.
Imam Bukhari menceritakan bahwa Aisyah R.a pernah mengeluh kepada keponakannya yang bernama Urwah dengan berkata; “Lihatlah Urwah, kadang-kadang berhari-hari dapurku tidak menyala dan aku bingung jadinya. Urwah bertanya; “Apakah yang menjadi makananmu sehari-hari ?, Aisyah menjawab; “Paling untung yang menjadi makanan pokok itu korma dan air, kecuali kalau ada tetangga-tetangga Anshar mengantarkan sesuatu kepada Rasulullah, maka dapatlah kami merasakan seteguk susu”. Aisyah R.a menambahkan bahwa keluarga Muhammad SAW dalam satu hari tidak pernah makan sampai dua kali, dan paling banyak makanan tersimpan di rumah tidak lebih dari sepotong roti yang dimakan oleh tiga orang.
Pada suatu hari Rasulullah SAW masuk Masjid, rupanya di dalam Masjid itu sudah ada Abu Bakar dan Umar R.a. Rasul bertanya kepada mereka berdua; “mengapa kalian berdua datang ke Masjid ini”. Keduanya menjawab; kami lagi menghibur lapar. Lalu Nabi SAW juga berkata; “saya juga menghibur lapar”, kalau begitu kata Nabi SAW mari kita kerumah Abu al-Hisyam barang kali ada makanan di situ. Berangkatlah mereka bertiga kerumah Abu al-Hisyam tersebut. Sesampainya disana beliau bertiga disambut oleh Abu al-Hisyam dengan penuh kegembiraan, langsung saja Abu Hisyam memerintahkan isterinya dan anak buahnya untuk membuat roti dan memotong seekor kambing. Setelah semuanya beres dihidangkanlah makanan itu dengan beberapa gelas air, merekapun makan bersama-sama. Sambil makan Rasul SAW berkata; “rasanya tidak ada makanan yang lebih nikmat dari ini”.
Hidup sederhana yang dialmi oleh Rasulullah SAW besarta keluarganya itu tentu bukanlah disebabkan ketidak mampuannya mendapatkan harta yang melimpah, atau makanan lezat yang bergizi tinggi, tetapi beliau memberi contoh kepada ummatnya bahwa kenikmatan dan kelezatan ukhrawi lebih pantas untuk dicari ketimbang kelezatan duniawi, kalau beliau mau apapun yang beliau minta dari Allah pasti dikabulkan-Nya. Hal ini pernah ditawarkan Allah SWT melalui Jibril A.s. untuk memilih apakah akan menjadi Nabi yang kaya raya seperti Nabi Sulaiman, A.s. atau menjadi Nabi yang miskin seperi Nabi Ayub A.s. ternyata Nabi SAW lebih memilih kenyang sehari dan lapar sehari (miskin) karena jika kenyang ada alasan untuk bersyukur, dan ketika lapar ada alasan untuk bersabar. Nabi SAW lebih memilih kebahagiaan hidup di akhirat ketimbang kemewahan duniawi, karena beliau tau persis bahwa kekurangan harta dunia bukanlah indikator dari kebencian Allah terhadap hamba-Nya, sedangkan kebahgaiaan akhirat tentu lebih utama untuk dicari ketimbang dunia ini, sebagai mana firman Allah yang berbunyi;
مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى . وَلَلآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الأُولَى . وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى (الضحى : 3 – 5)
Artinya: Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu, dan sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagimu dari dunia ini. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. (al-Dhuha : 3 – 5)

3. Zuhud terhadap dunia
Hidup zuhud terhadap dunia menjadi pakaian yang melekat dalam kehidupan Nabi SAW. Zuhud artinya melepaskan ketergantungan dengan duniawi, seperti ketergantungan hati kepada harta, pangkat, jabatan dan lain sebagainya dari berbagai bentuk kehidupan duniawi. Pakaian zuhud ini bukan saja menjadi pakaian beliau sehari-hari, tetapi juga menjadi ajaran yang beliau sampaikan kepada para sahabatnya. Nabi bersabda; “Zuhudlah kamu terhadap dunia, pastilah Allah mencintaimu. Dan zuhudlah kamu terhadap apa yang ada ditangan manusia, pastilah kamu dicintai manusia”. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah melewati seekor kambing yang sudah mati, lalu beliau bersabda kepada sahabatnya; “tahukah kamu kambing ini hina bagi yang memilikinya ? Para sahabat menjawab “karena kehinaannya itulah maka mereka melemparkannya”. Kemudian Nabi bersabda “Demi Allah yang jiwaku berada ditangan-Nya, sungguh dunia ini lebih hina dari kambing ini bagi pemiliknya. Seandainya dunia ini memadai disisi Allah dengan selembar sayap nyamuk, tentu Dia tidak akan memberi minum pada seorang kafir dengan seteguk air”. Nabi SAW bersabda lagi “Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir”. Abu Hurairah menceritakan bahwa dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda;
أَلاَ إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلاَّ ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالاَهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ (رواه الترمذى)
Artinya: Ketahuilah bahwa dunia ini dilaknati, dan dilaknati juga apa yang ada didalamnya, kecuali dzikir kepada Allah, dan apa saja yang mengikutinya serta orang yang tau atau orang yang mencari tau (belajar)”. (H.R. Turmudzi).
Abu Musa al-Asy’ari berkata; Rasulullah SAW bersabda; “Orang yang mencintai dunia, pastilah dia akan mengenyampingkan akhiratnya. Dan orang yang mencintai akhirat, pastilah dia akan mengenyampingkan dunianya. Oleh karena itu utamakanlah yang abadi atas yang temporer”. Pada suatu ketika Rasulullah SAW bersama beberapa orang sahabat berdiri didekat tempat sampah, lalu belai bersabda; “mari kita perhatikan dunia”, kemudian beliau mengambil beberapa pakaian usang yang telah rusak diatas tempat sampah itu dan beberapa tulang yang telah hancur, beliau bersabda; Ini adalah dunia sebagai suatu isyarat bahwa sesungguhnya perhiasan dunia akan usang seperti pakaian ini.Sesungguhnya tubuh-tubuh yang engkau lihat akan menjadi tulang belulang yang hancur”. Nabi SAW berkata pula; “Sesungguhnya dunia adalah sesuatu yang manis dan hijau, sedang Allah menjadikan kamu penguasa didalamnya. Lalu Dia melihat bagaimana kamu berbuat. Sesungguhnya kaum bani Bani Israil setelah dilapangkan dunianya, mereka menjadi bingung gemerlapan perhiasan, perempuan, wangi-wangian dan pakaian”.
Pakaian zuhud juga melekat pada keluarga Nabi SAW. hal ini terlhiat ketika pada suatu waktu Nabi SAW pulang kerumah isterinya Siti Khadijah R.a. didapainya Siti Khadijah sedang terisak menangis, lalu Nabi berkata; Wahai Khadijah apakah yang menyebabkan kamu menangis ? Apakah karena harta kekayaanmu telah habis dipergunakan untuk perjuangan Islam ini ?. Khadijah dengan cucuran air matanya sambil berkata; “Ya Rasulullah ! bukan itu yang aku tangiskan, tapi memikirkan bagaimana perjuanganmu nanti menegakkan Islam ini sekiranya saya telah berpulang kerahmatullah. Saya ini sudah tua Ya Rasulullah, sedangkan perjuanganmu menegakkan Islam ini belum selesai. Andaikan nanti Allah mentakdirkan saya mati terlebih dahulu, sedangkan engkau akan menyiarkan Islam ini disuatu tempat yang membutuhkan jembatan sedangkan aku telah berada dialam kubur, galilah kuburku nanti Ya Rasulullah, ambillah tulang belulangku untuk engkau jadikan jembatan agar dapat sampai ketempat yang dituju untuk menyampaikan Islam ditempat itu”.
Beberapa waktu kemudian Rasulullah SAW mengajak Siti Khadijah jalan menelusuri kaki buki Uhud sambil membawa sebuah keranjang. Sesampainya beliau berdua di kaki bukit tersebut Rasulullah SAW mengambil sebuah batu sebesar tinju yang ternyata sebingkah emas, lalu diberikannya kepada Siti Khadijah sambil berkata; Ambillah ini sebagai Rizki dari Allah, lalu dimasukkan kedalam keranjang yang dibawa oleh Siti Khadijah tersebut. Siti Khadijah sangat heran namun tidak berani bertanya, cuma saja didalam hati bertanya-tanya ada gengan apa ini. Setelah itu beliau berdua meneruskan perjalanan menuju keatas bukit uhud tersebut, sesampainya dipertengahan Rasul SAW mengambil sebuah batu yang lebih besar dari yang pertama tadi, ternyata juga sebingkah emas murni. Beliau berikan batu emas itu kepada Siti Khadijah dengan memasukkannya kedalam keranjang yang dibawa Siti Khadijah itu, beliau berkata; ambillah ini sebagai rizki dari Allah. Lagi-lagi Siti Khadijah terdiam dengan penuh pertanyaan didalam hati. Kemudian beliau berdua meneruskan perjalanan menuju puncak bukit uhud itu, ternyata tidak lama kemudian Rasulpun mengambil sebuah batu yang lebih besar lagi yang ternyata juga sebingkah emas murni. Rasul SAW memberikannya kepada Siti Khadijah dan memasukkannya kedalam keranjang sambil berkata; Ambillah ini sebagai rizki dari Allah. Akhirnya dengan linangan air mata jatuh membasahi pipi Siti Khadijah berkata; Ya Rasulullah! Bukan ini yang aku cari, aku tidak mencari dunia, tapi keridhaan Allah dan Rasul-Nya yang aku harapkan. Lalu Siti Khadijah membuang tiga bingkah emas tersebut.
Dalam banyak riwayat Nabi SAW menjelaskan posisi dunia ini bagi manusia. Abu Hurairah menceritakan bahwa dia pernah diajak oleh Nabi SAW melihat sebuah jurang dari beberapa jurang yang ada di Kota Madinah. Rasul bersabda; Ya Abu Hurairah maukah kamu saya perlihatkan dunia ini dan apa yang ada didalamnya ?. Abu Hurairah menjawab; mau ya Rasululullah ! lalu beliau membimbing tanganku dan memabawaku kesalah satu jurang dari beberapa jurang yang ada di kota Madinah. Ternyata didalamnya terdapat tempat-tempat sampah yang berisikan tengkorang manusia, kotoran-kototran, pakaian usang, dan tulang belulang., kemudian bersabda;
“Hai Abu Hurairah, kepala-kepala ini pernah rakus seperti kerakusanmu, dan berangan-angan seperti angan-anganmu, tetapi dikemudian hari dia menjadi tulang tanpa kulit dan kemudian menjadi abu. Dan kotoran-kotoran ini berasal dari bermacam - macam makanan yang telah mereka kumpulkan dari berbagai tempat tanpa memandang halal atau haram. Tetapi kemudian makanan itu dilemparkan kedalam perut dan akhirnya manusia berdesakan. Dan ini pakaian-pakaian mereka yang kemudia diombang-ambingkan angin. Dan tulang-tulang ini berasal dari tulang belulang binatang yang mereka kendarai dan pernah mereka gunakan untuk menjelajah pingiran-pinggiran negeri ini. Maka barang siapa yang menangisi dunia, maka hendaklah dia menangis. Akhirnya kami menangis dan tidak beranjak dari tempat itu sampai tangisan kami semakin keras”.
Ketika Rasulullah SAW berkhutbah beliau menyampaikan bahwa “orang-orang mukmin selalu berada pada dua kekhawatiran; Pertama, khawatir masa yang telah lalu, yang tidak diketahui bagaimana Allah menilai amal perbuatannya dan apa yang akan diperbuat oleh Allah terhadap dirinya sebagai akibat dari perbuatannya itu. Kedua; Khawatir masa yang akan datang karena dia tidak mengetahui apa yang telah ditetapkan Allah bagi dirinya. Oleh karena itu hendaklah kamu perbanyak bekal untuk dirimu sendiri, dunia untuk akhirat, muda untuk masa tua, hidup untuk mati, karena dunia ini diciptakan untuk kamu dan kamu diciptakan untuk akhirat. Demi Allah yang jiwaku ada ditangan-Nya, tidak ada taubat setelah mati, dan tidak ada perkampungan sesudah dunia ini kecuali surga atau neraka”.

4. Taubat dan ibadah
Fakta sejarah menunjukkan bahwa selama hayatnya, segenap prikehidupan Muhammad menjadi tumpuan perhatian masyarakat, karena segala sifat terpuji berhimpun pada dirinya. Bahkan beliau merupakan lautan budi yang tidak pernah kering meskipun diminum oleh semua makhluk. Amal ibdah yang beliau lakukan tiada bandingannya. Dalam riwayat, Rasulullah SAW beristighfar dalam satu hari satu malam tidak kurang dari 100 kali. Shalat tahajjud dan witir yang beliau lakukan tidak pernah terputus setiap malamnya, meskipun kakinya pecah-pecah karena terlalu sering terkena air. Apabila pada suatu malam beliau berhalangan melakukan shlat tahajjud, segera saja keesokan paginya beliau ganti (qdha’) sehingga kekosongan pada malam itu segera terisi pada besok paginya. Dengan demikian ibdahanya beliau tidak terganggu. Dalam bermunajat kepada Allah, perasaan khauf dan raja’ selalu diiringi dengan isak tangis yang sedu sedan, sampai jenggot dan surbannya basah terkena air mata.